Tempat yang sekarang disebut Pekajangan ini, pada kisah awalnya, hutan rungkut pepohonan
kajang. Dan pohon kajang adalah batang-batang yang keras, yang jika sudah cukup
umur bisa dimanfaatkan untuk gubuk, bahkan untuk dondangan kapal atau perahu.
Penulis Cina Hsu Siauw Lin, sekitar abad Sembilan masehi dalam pengelanaannya di pulau Jewawud (Jawa sekarang) sangat mengenal kayau kajang sebagai bahan bangunan. Untuk kerangka tempat tinggal atau perahu-perahu pencalang - yang sering menempuh ombak di lautan dalam.
Itulah asal-muasal nama desa Pekajangan, dari kosa-kata “kajang”. Namun ada penafsiran lain tentang kajang: atau lebih komplitnya muasal Pekajangan itu, yang bisa jadi mulanya dari sebutan Pekajangan. Pekajangan diartikan, adalah hunian perembpua-perempuan nakal, seperti PSK istilah belakangan. Desa yang tertutup oleh hutan belantara, dijadikan perembunyian para bandit dan bromocorah saaat itu dan juga menyembunyikan para gundik-dundik mereka.
Transkip itu paling menguatkan karena ada gundik Cina yang dikenal sangat tersohor dengan panggilan Biaw Lin. Kemudian beralih nama Beling (rujak beling, sebuah cerita).
Pekajangan emang penuh aroma kegatalan orang-orang lelaki.
Judi, perjinahan, rampok dan garong adalah hal yang kesehari-harian. Smentara penduduk yang menghuni dusun itu makin berjubel, makin popular juga.
Melintas tahun dan abad, desa Pekajangan tak lepas menguntai dalam perubahan-perubahan pula.
Singkat kata kemudian muncullah Muhammadiyah.
Organisasi yang bercorak social-Islami ini terbit dari kota gudeg, Yogyakarta.
Sinar matahari sebagai lambang Muhammadiyah itu terlihat makin cerah, menyilaukan dan bergebar-gebar.
Muhammadiyah sebagai lairan yang berpangkal tolak pengaruh kuat kaum Wahabi di semenanjung Arab, dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan di Kampung Kauman Yogya, menjungkir-balikkan tentang ajaran Islam.
Islam yang semula berklembang dari pengaruh wali di Tanah jawa dan eklektik para sufi Timur Tengah abad lima belas masehi,terhumbalang dengan hadirnya ajaran Wahabi, lewat Muhamadiyah.
Pekajangan sebelum Muhammadiyah
Pentas imi hanya mengambil setting seputar akhir abad sembilan belas dan menengarai awal abad keduapuluh. (Dihitung Masehi)
Pekajangan sebagai puak, sangat jumbuh dengan “preman-preman” liar atau pun brandal-brandal dengan sindikat dan kelompok bergantung dari beberapa suku atau pemukiman dari luar Jawa.
Lebih-lebih kondisi kolonialisme Belanda yang mulai kedodoran mengendalikan rakyat pribumi, ekonomi dunia yang merosot tajam, dan mulai pula tercium benih-benih pergerakan nasionalisme meskipun masih bersifat embriotik, situasi puak pekajangan pun ikut hanyut kemana arus itu bermuara.
Di tahun-tahun seribu delapan ratus empat puluhan, semenjak perang Diponegoro (1925-1930), anehnya para deserter perangpun tidak sedikit yang menyudup ke dusun Pekajangan.
Pekajangan pada waktu itu masih berbentuk “penatus” (tiga empat desa dengan kepala seorang penatus), dengan dijabat oleh Ki Mardan, seorang pedega yang ditakuti, oleh karena pendekar yang disegani karena kekejamannya.
Ki Mardan ini lah yang pada rentetan keturunannya, adalah penulis risalah ini, kalau dirunut sekarang.
Kemudian masuklah Ki Kambal (Gombol), mungkin nama sebenarnya Hambali yang menurut cerita dari mulut kemulut dan sebagian cerita imajinasi, Gombol ini seorng deserter dengan sejumlah pengikutnya. Termasuk didalam Ki Sutojoyo, guru ngaji dan silat.
Tapi setelah ditelusuri lebih cermat, Ki Gombol ini ternyata bukan penakwan pangeran Diponegoro, justru beliu ini ulama Persi (Iran sekarang) yang mengembara ke Jawa menyebarkan Islam.
Ki Gombol alias Hambali ini seorang ulama dari aliran Mu’tazilah sangat mendominasi ajaran di Iran,
Dalam peninggalan Ki Gombol alias Hambali, ditemukan buku-buku syair-syair Saadi, Farid Attar dan Jalaludin Ar- Rumi. Dalam wejangannya ia selalu berkata kitab-kitab semacam itu bertentangan dengan ajaran Muhammad yang memusatkan Al Kur’an dan Hadist. Pemikir-pemikir Mu’tazilah dari bani Abbasiyah, sangat dominant menjadi pelajaran wajib santrinya.
Pada gilirannya, menjelang akhir abad kedua puluh, tokoh desa Haji Makhali sangat getol menyimak pikiran-pikiran itu. Sehingga kerna salah paham, dikiranya H. Makhali adalah murtad.
Berkecamuknya aliran dan mulai saling bersebrangan, tumbuh pula perekonomian pribumi yang karena pengaruh revolusi industri Barat saat itu Pekajangan juga mulai dijamah benih-benih usaha mandiri.
Rawa-rawa yang dulu subur oleh tumbuhan bakau atau kajang, dikeringkan dan mulai ditanami kapas, hasil dari bawaan Tan Siaw Jin, musafir Cina Yun’ An yang sempat membawa benih kapas.
Pekajangan tidak seberapa luas .Paling sekitar duapuluh hektar.Cuma tanahnya yang bekas rawa itu cukup subur.
Benuh yang semula dari Tan Siauw Jin itu akhirnya menghasilkan kapas yang mutunya tidak jelak. (Yan Siauw Jin ini ketika meninggal, jasadnya dikebumikan dekat dengan gang 23 sekarang.
Sementara Biaw Lin dikebumikan di dekat gang enam, yang dikenal dengan Rujak Beling.
Tumbuhlahj di Pekajangan industri rumah dengan sistem sederhana, manual dan primitip. Bentuk produk ini berupa kain stagen, kain untuk kebaya perempuan, dan celana kapar untuk lelaki.
Tidak sampai duadasa warsa perkembangan industri stagen bergerak cepat.
Produk itu mendapatkan pasar yang ideal dan sangat laku keras di Solo, Yogya dan Semarang. Dari tiga kota itu menyebar sampai Surabaya, Bali, Lombok. Kain-kain motif stagen yang ada di Lombok, itu barangkali berasal dari Pekajangan dalam embrionalnya.
Salah satu pengusaha dan sekaligus pedagang saat itu, adalah Hajah Musrfifah. Perempuan itu anak putri pengusaha gede juga, yakni H. Ilyas, menantu Ki Mardan dan keturunan Ki Gombol.
Dalam sepak terjangnya, Hj. Musrifah memperbesar usahanya.
Dia seorang perempuan yang cukup briliyan otaknya, mungkin dia mengidap deja_vu. Dengan bersuamikan H. Masduki, yang bertugas mengolah usaha di rumah, sebagai jontrot. membawa hasil produksinya ke Solo, Yogya atau Semarang.
(Pada tulisan selanjutnya, kisah tentang deja-vu Musrifah ini akan terkuak lebih lebih lebar dan realistik sebagai bibit pengusaha pribumi yang terpandang saat itu. Dalam judul yang lain, peran Hj. Musrifah dan Muhammadiyah akan terungkap secara kongkrit.
(kongkrit dan lugas)
gejala inudtrialisasi ini sangat berpengaruh dengan prilaku-perilaku yang (semula) sulit diatasi.
Diantaranya perilaku negatif, suka merampok, mencuri, berjudi, minum dan main curang, perlahan-lahan seolah kurve-nya menurun.
Dengan sedikit-sedikit uang hasil dunia hitam itu, mulai dimanfaatkan untuk ikut-ikut menerimbung membuka usaha hame industri.
Dalam waktu tidak lama makin berdeguplah Pekajangan dengan pola industri tekstil primitip.Tidak jarang para pejabat Belanda menyempatkan melongok berkunjung ke Pekajangan karena prestasinya yang luar biasa itu.Dengan tumbuh mekarnya industry tenunan dekst, tumbuhlak kebutuhan spiritual. Agama Islam mulailah berkokok.
Pengajian nunutut ilmu agama tersebar dimana-mana. Surau-surau didirikan meskipun bentuknya masih setengah permanen. Tempat-tempat jorok, sepoerti pelacuran mulai menyingkir kepelosok.Judi adu ayam pun makin berkurang.
Yang tidak mampu mendirikan usaha, mereka mau jadi buruh dengan upah yang memadahi.Lampu pet yang saat itu sudah mulai dipasang oleh colonial Belanda, merambah juga ke Pekajangan.
Listrik belum masuk ke desa .
Baru mendekati tahun 1920an, Perusahaan Belanda yang dikenal bernama ANIEM (algemeine Nederland Indische elektrik matchapij).
Listrik masuk rumah-rumah yang mampu membayar, juga bagian pinggir jalan besar desa. Sebagian jalan besar yang paling banyak monopoli jalan raya tetap, dokar berkuda dan sepeda buntut. Rumah-rumah penduduk pun tak banyak yang dibangun dengan batu-bata. Masih banyak rumah-rumah mereka berdinding bamboo dan beratap welit. Kehadiran industry manual mendatangkan juga kebutuhan pendidikan tentang ketrampilan. Bagaimana cara terbaik dalam membuat kelir-kelir (colour) yang meriah.
Hj. Musrifah, sebagai kondang mengirim pemuda bernama Hsayim ke Bandung kursus ketrampilan/ kelir. Hj. Musrifah membiayai segala sesuatunya.
Kehidupan dunia usaha sebagaimana awal tulisan ini tentu saja berdampak pada segi-segi kehidupan lain.
Penduduk Pekajangan yang sebagian besar dari keturunan diaspora para pendatang, diantaranya Cina, Persi, Arab Keling, dan pribumi asli memang merupakan faktor menguntungkan. Sehingga keturunan mereka memiliki kecerdasan yang lumayan.
Bahkan keturunan asli penduduk pribumi yang tak melakukan asimilasi dengan para pendatang, nyaris terpuruk sebagai kelompok minoritas yang ketinggalan dalam segala hal.
Pekajangan, hamper sebagian besar nyaris keturunan Cina dan Keling. Sebagian besar berdarah Arab Hadrami.Sebenarnya percampuran antara ras dan suku itu tidak terbatas di puak Pekajangan saja. Tentu saja melebar kelain-lain desa.
Malah wonopringgo, lima kilometer dari Pekajangan, yang disana bercokol sebuah pebrik gula milik Belanda, banyak terjadi percampuran antara orang bule dan perempuan pribumi.Asimilasi itu berlangsung sangat lama.
Maka tak heran yang disebut penduduk pribumi asli di daerah ini sudah tak murni lagi. Benarkah sampean Jawa asli ? Buktikan. Sulit sudah.
Begitu juga asimilasi dengan Cina Wanatenglang, perantauan, juga tak bisa dibantah kenyataannya.
Betul juga sebutan Indonesia. Indo bagi semua suku dan pribumi.
Pengertian asli kependudukan sungguh pekerjaan pikiran dan fanatisme yang tolol.
Volk-school atau sejenis sekolah dasar bagi pribumi didirikan oleh pemerintahan Belanda. Tahun seputar 1910 yang beralokasi anatar Pekajangan dan Bligo.
Sekolah itu namun cepat bubar. Muridnya sedikit. Orang-orang tua mereka sangat ketakutan mengirim anak-anaknya ke sekolah kaum penjajah.
Mendingan masuk pesantren. Pengetahuan agama lebih penting, tinimbang penegtahuan Latin.
Hj. Musriofah sendiri korban fanatisme beku kalangan orang-orang tua.
Tanpa mengenal huruf latiun dan angka hirung-hitunga, Hj. Musrifah mampu mengendalika usahanya saat itu, dan sekaligus menjdai manajer yang piawi. Sungguh luar biasa. Andaikata beliau masuk sekolah, tidak mustahil beliau jauh diatas R.A Kartini, pahlawati tersohor dengan hanya dengan menulis buku “Habis gelap terbitlah teranbg”, hanya berupa hasil surat-surat pribadi yang dikompilasi oleh nyonya bulai Abendanon. Hj. Musrifah pantas menjdai ikon bahkan nasional, tak hanya untuk Pekajangan.
Mestinya ini menjdai solusi untuk sebuah “awards” bagi kalangan pengusaha di bidang industri. Khusunya di Pekalongan.
(pada bagian lain, akan kita kuakkan lebih ajuh tentang Hj. Musrifah ini. Beliau meninggal dalam usia lanjut, 80an lebih)
HIS, Indische Hollands School akhirnya dipindah ke selatan Pekajangan.
Saat itu kalangan orang-orang Muhammadiyah berupaya mendirikan sekolah, dengan sebutan sekolah rakyat (SR) yang lokasinya lebih strategis, ditengah-tengah pemukiman kaum pengusaha, dan bercorak agama.
Guru-guru seperti Saleh Dasran, Abdul rauf dan Mukijab sangat kental dengan perkembangan pendidikan anak-anak Pekajangan.
Baiklah tulisan ini belum sepenuhnya menjurus kesana.
Pekajangan sebelum hadir Muhammadiyah sudah sangat mengenal Islam.
Pengertian aliran Muhammadiyah sendiri sampai sekarang tetap masih terbatas, dengan pola politik.
Muhammadiyah sebagaimana orang mengenal sebgai buah karya KH. Ahmad Dahlan, dari kauman Yogya, adalah pengejawantahan kaum Wahabi.
Dalam tafsir Syeh Rida’ dalam judul Almanar, melebihi uraian tentang sikap pentingnya Islam tidak berliku. Tonggak pemikiran Almanar adalah ratio. Islam dengan gumpal ratio, bukan mistik. Orang muslim cukup memakai standar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan hadist-hadist sokhehnya.
Namun kalau kita menyimak lebih intens, abnyak sekali dalam tafsirnya Sayid Rida yang masih kontroversial dengan akalnya.
Misalnya orang meninggal, cukup dengan saritauladan yang baik, dido’akan alakadarnya, sudah selesai. Tidak perlu ritual lain, kecuali disholatkan dan dikubr baik-baik. Tahlil dan ritual lain tidak perlu. Itu irrational.
Seakan-akan orang yang sudah mati itu sudah tidak ada hubungan atau jadilah ia debu kembali ke asalnya semula.
Paham lain, karena Islam juga percaya barang ghaib, orang matipun kecuali jasad, masih juga mendapatkan kelanjutan hidup di dunia lain.
Nah, untuk selulu bisa terus melakukan kontak spiritual, niscaya dibutuhkan juga pengiriman doa-doa dan ritual lain, tahlil itulah, agar si almarhum senantiasa terjaga dalam iman. Tidak dibuang begitu saja, seperti kupu-kupu penyap di bumi.
Almanar tidak konsentrasi banyak dengan logika. Malah lebih banyak berbau politis. Karena periode itu kebangkitan kolonialisasi merebak.
Daratan Eropa, dan sebagian Negara-negara Timur Tengah asap dupa nasionalisme mulai tercium pedas. Gerakan Wahabi, juga tak lepas dari terpaan itu.
Sikap politis dan nasionalismenya sangat sarat puatan.
Gerakan itu tidak sepenuhnya memurnikan ajaran Islam. Tapi lebih miring kepada kekuasaan. Karena ajaran Rasulullah yang bertumpu pada sikap moral bukan artikan perang.
Muhammad selalu mendasarkan bahwa Islam adalah ajaran moral, dalam artian sudah tentu moral yang universal, lintas suku dan politik, ideologis. Rasulullah selalu bersiap toleran, suka memaafkan, meskipun orang itu masih suka mengerjain sirik.
Salah satu dalil kuat yang ditampilkan nabi adalah fragment Ibrahim dan bapaknya yang ahli menciptakan berhala. Ibrahim dilarang oleh Tuhan untuk melawan adhar, bapak kandungnya, yang tetap menyembah berhala. Apalagi sirik ringan.
Oleh karena itu, sejak berdirinya Muhammadiyah sampai sekarang, penyebaran Muhammadiyah tertatih-tatih, hanya menarik perhatian di kalangan inteelktual dan kaum feodal.
Abdul Wahab hanya menginginkan perbutan kekuasaan raja Abdul Aziz dan pindah ke tangan aristokrat Ibnu Saud.
Bukan memusat perubahan perilaku akidahnya.
Ajaran murni Islam hanya dijadikan kuda tunggangan kearah kekuatan politik.
Tafsir Sayid Rida jauh berlainan dari Tafsir Abdur Rahma Al- Maraghi.
Didalam tafsir Al- Maraghi sedikit sekali konteks Politik.
Kisah-kisah tentang Fir’aun dan yang sejenis tak mendapatkan porsi banyak. Sebagaimana niat Rasul Muhammad sebagai utusan, lebih mengelu pas perihal moral dan kearifan.
Makanya diawal-awal Muhammadiyah masuk di Pekajangan, tidak harmonis kyai-kyai yang jebolan jamsaren (Solo) seperti Mukri, tidak merasa singkron dengan ajaran Muhammad yang maunya ditelan mentah-mentah.
Dalam sholat Subuh, sebaiknya do'a kunut tetap dipakai.
Mukri tak selaras jika dihilangkan. Karena do'a itu meskipun dari penyertaan niat Umar, sebagai sahabat jenius.
Kalau eloquence Umar sendiri dibiarkan nabi, kenapa para pengikut nabi yang awam berani menghilangkan semena-mena.
Banyak hal yang kontroversial atas kehadiran Muhammadiyah di Pekajangan yang sampai saat ini, tidak mampu keluar sebagai ekslon di desa-desa lain. Orang-orang diluar Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah itu nganeh-aneh. Muhammadiyah sejak tahun duapuluhan, tak pernah secara significans keluar dari sarangnya.
Ajaran itu hampir-hampir tak pernah mampu diformalisasikan sebagai gerakan tajdid sebaga kemauan pendirinya.
Apalagi dengan hadirnya generasi yang sekarang, yang memilih hidup yang hedonis, pola ke Barat-baratan, dengan “dugem” sebagai berhalanya.
Dengan “hugel” alias hubungan gelap sebagai trend masa kini, orientasi ke arah Islam yang mabuk pembaharuan nyaris lepas rem.
Tak terdengar kembali peran tarjih atau kyai yang radikal suka mengharam-haramkan apa saja yang tidak disuka.
Di Pekajangan sebelum hadir Muhammadiyah, hingar dengan dekadensi itu memang banyak betulnya. Di desa itu dulu merebak tontonan ronggeng, sinetron dan budaya eksploitasi seks. Secara dikemas dalam warna komersial.
Banyak anak-anak muda berduit, menggandrungi primadona ronggeng, dengan menggendak, mengajak tudur, meninggalkan anak istri.
Sebagaimana permulaan tulisan ini, Pekajangan, bisa diartikan dari Pekijangan, yakni disnonimkan dengan kijang adalah perempuan penjajah sahwat. Disinilah dulu markasnnya.
Jadi kalau sekarang muncul istilah hugel, dimana banyak terjadi perserongan dikalangan lelaki/ suami dan istri orang lain, bisa telusuribahwa demoralisasi ujungnya belum sepenuhnya pupus.
Perselingkuhan dewasa inio bukan disebabkan krisi iman atau tak mencintai lagi agama sebagai panutan. Gejala itu memang sudah menudia, dan bumi ini sejak dulu berlangsung apa yang disebut tabiata alami manusia.
Jika Pekajangan juga anggautan drai planet bumi ini, apakah tidak halal kalau naluri seperti masuk masuk kesini juga. Pekajangan bukan surga kesucian.
Masyarakat yang senang realistis.
Lihat nafsu Poligami, tak pernah kendor, penyaluran yang nampak ekstrim.
Lucunya, sebagian orang manajiskan tontonan ronggeng, sintren, dan memuji “Babalu”, sandiwara yang Islami, tanpa menyimak apa yang terjadi dibelkang layar sandiwara itu.
Terbitnya Matahari di Pekajangan
(Kisah-kisah awal kehadiran gerakan Muhammadiyah)
Disini dibicarakan lebih lanjut tentang ikon Pekajangan, perempuan yang memiliki deja-vu yang secara tak terduga sebagai simbol sosok mengagumkan.
Hajjah Musrifah.
Perempuan ini putri dari pasangan H. Ilyas dan Hj. Maryam.
Diurut-urut masih dekat dengan keturunan Ki Mardan, sipenatus, dan Ki Gombol yang sebagian mengatakan desersi prajurit Diponegoro sebagian riwayat mengatakan asal dari Persi (yang sekarang Iran).
Sebagaimana dipendahuluan catatan ini, abahwa Pekajangan memang dikenal sebagai puak tumpukan eksodus. Suku-suku bangsa.
Jadi tidak heran, Ki Mardan dan Ki Gombol (kembali) leluhur dari eksodeus negeri lain.
Kehadiran Hj. Musrifah setelah menikah dengan masduki, itukah corak industrialisasi desa kecil itu mekar menyemburat.
H. Ilyas adalah juragan batik dan tekstil juga sebelumnya.
Namun sejak Hj. Musrifah berperan, ada warna yang lain di desa itu kemudian. Tenaga kerja dibelakang rumah Hj. Musrifah yang dinamakan pranggok menampung duaratus orang, dengan masing-masing tugasnya.
Hj. Musrifah yang memegang kendali itu.Bukan Masduki, suaminya.
Masduki yang anak sulung H. Abdul Syukur bergaya aristokrat dan tidak cerdas. Oleh karena itu karena kecerdasan yang luar biasa istrinya itu dengan suka rela menerimanya.
Dan Hj. Musrifah memang pas.
Sedikit resume, kecerdasan kaum perempuan hasil silang antara keturunan memng mengisyaratkan bahwa karakter perempuan meninggalkan kemampuan rata-rata kaum prianya.
Diantara sossok Hj. Musrifah tentu ada juga perempuan yang mengendalikan perusahaannya, dan itu berkelanjutan sampai sekarang.
Di Pekajangan, para lelakinya boleh dibilang gerombolan pemalas yang imajiner. Suka makan enak, dan foya-foya. Sok.
Lelaki semacam itu cenderung pemboros. Dan kalau nempel sedikit keistimewaan, ia ia cepat-cepat mencari selera ekstra, apakah itu serong atau diam-diam kawin lagi.
Hj. Musrifah sangat cerdik, sebagaimana suaminya yang tak mampu mengurus perusahaan yang sudah tingkat menengah itu.
Serta merta ia menyiapkan bahan, merengkrut tenaga kerja, dan jauh lebih penting, memasarkan hasil produksi yang melimpah itu.
Hj. Musrifah membawa barang produksi sendiri ke Solo dan sekali waktu ke Yogya.
Saat itu ia mengangkut produksi batik dan palekat dengan kereta api/ dari Pekajangan menuju stasiunkereta api diangkut dengan dokar. Sepuluh dokar rata-rata saat berangkat dan semuanya penuh dengan muatan batik dan palekat. Ada pembantu tenaga kasar yang mengurus di kereta. Begitu secara rutin berlangsung bertahun-tahun. Pun pulangnya membawa juga barang, kain moridan benang tenun.
Nah, lebih hebat lagi, disamping ia menawarkan hasil produksinya yang sudah tersohor dan dijamin laku habis, ia masih menyempatkan mengunjungi kegiatan rokhani, pengajian dimana ia menginap.
Di Solo ia selalu menginap di Laweyan. Dan di Yogya ia di komplek Kauman.
Di Kauman Yogya inilah ia mendengar tentang adanya perkumpulan baru tentang aliran.
Setiap ia pergi berdagang, ia menyimak tentang hal baru itu. Dia merasa interesan.
Kemudian setiap pulang ia menceritakan hal itu kepada keluarga.
Orangpun makin lama makin tertarik obrolan Hj. Musrifah itu.
Bukan tentang dagangannya, tapi tentang pengajian yang didapat.
Lebih-lebih setelah anak sulungnya, Dimyati (yang masa kecilnya bernama Sumadi), dikirim ke pesantren di Solo, di Mamba'ul Ulum. Kemudian adiknya Makhali. Kemudian Nurmah, anak putrinya dikirim ke Yogya dan sekolah dikalangan anak-anak kraton, dengan kost di internat. Orang-orang Pekajangan makin mengagumi cara cerdas Hj. Musrifah.
Salah satu hal yang kiranya menguras perhatian. Manusia Dimyati ini. Sebenarnya dia anak lelaki gendilo. Tidak suka menuntut ilmu.
Di kalangan teman-temannya ia brengkoak karena suka hidup minum dan main. Teman temannya sebagian besar para kentoha, menghabiskan waktu dengan brekotal dan seenaknya. Kok bersedia dikirim ke Solo.
Saking senangnya, Hj. Musrifah sebagai orang tua yang bijak meluluskan apa sarat permintaa Dimyati dituruti.
Salah satu permintaan yang nyentrik adalah setiap keberangkatan ke tempat belajar ia menyewa kereta milik bangsawan di Solo komplit tukang sais.
Sehingga setiap tiba di pusat belajar itu. Orang-orang mengira kalau Dimyati keturunan aristokrat juga.
Dengan seringkali Hj. Musrifah mengunjungi pengajian, di desa ia akhirnya jadi pusat pertanyaan. Lebih-lebih peranan Dimyuati selepas mondok di Solo bersama adiknya Makhali, tanda-tanda kearah realitas berdirinya organisasi itu semakin dekat.
Pada suatu hari bersama dengan H. Abdur Rahman, tokoh terpandang, H. Jalil dengan dikawal tokoh-tokoh muda, Dimyati, Makhali, H. A. Aziz, mereka menuju Yogya. Disana mereka mencoba mencari kabar tentang yang didengar dari Hj. Musrifah sebelumnya.
Ternyata benar, bahwa serikat Muhammadiyah telah berdiri.
Tapi Pemerintahan kolonial masih membatasi dengan karantina sepuluh tahun.
Pekajangan harus menunggu selama sepuluh tahun jika mau mendirikan cabang dri perserikatan itu.
Sekalipun perserikatan Muhammadiyah belum resmi terwujud tapi embrio mulai disebar luaskan.
Makhali yang ahli tafsir mantiq mangajarkan Islam yang sesuai dengan syi'ar Rasulullah. Tidak banyak menyimpang.
Pengajian-pengajian mulai digalakkan, saben minggu.
H. Abdur Rahman mendirikan musholla di depan rumahnya untuk kegiatan itu.
Namun sejauh itu intensitas kegiatan untuk menyongsong hadirnya sebuah persarikatan modern dan sebagai jawaban perubahan jaman kekinian, kondisi Pekajangan berupah drastis? Tidak.
Jiwa oportunisme yang melekat sebagai puak keturunan bersilang tetap secara tersamar maupun terang-terangan berjalan beriringan berjalan. Kondisi ugal-ugalan di kalangan generasi muda, dengan kemaksyiatan terus saja berlangsung.
Pengikut terhadap Islam tak sepenuhnya terserap dalam sanubari, meskipun secara teori selalu ingin mengalahkan aposteori berkepul Dimyati dan konco-konconya nyaris tak berubah meskipuin dikirim sebagai alumni Mamba'ul Ulum yang tersohor itu.
Tapi Hj. Musrifah tetap berusaha. Niatnya untuk mengangkat derajat anak-anak untuk sebagai orang terpandang di bidangnya hampir tak jemu-jemu.
Hj. Musrifah mengirim sekolah yang masih tergolong kerabat dekat, yakni Mukri. Mukri ini putra dari H. abdul Kahar, masih paman dari Masduki, dan karena terlibat dagang tembakau orang ini beserta keluarganya akhirnya bermukim di Jatibarang. Kota Duwet masih terhitung keturunan jauh dari raja Pakubuwono dari Mataram.
Nyai Duwet tinggak di Warungasem Duwet.
Salah satu paman Nyai Duwet itu bernama Ki Sujono.
Ki Sujono adalah seorang raden yang terlibat dalam perang Diponegoro.
Ketika phak pangeran berjubah itu kalah, Raden Sujono menyingkir ke timur. Menetaplah dia di wilayah perdikan gunung Kawi.
Ketika meninggal, jasadnya juga dimakamkan disisi tempat tinggalnya.
Hingga sekarang makam (embah) Sujono itu menjdai pengujan orang-orang mencari kesugihan. Penjaga makam itu adalah keturunannya, termasuk keturunan nyai Duwet, istri H. Abdul Kahar itu.
Mukri dikirim olwh Hj. Musrifah ke pesantren Jamsaren, Solo.
Kemudian pria ini dinikahkan dengan salah seorang anak perempuan Hj. Musrifah, Siti Aenah dan bertempat tinggal di Pekajangan sampai akhir hayatnya.
Tujuan Hj. Memondokkan mukri tidak lepas pula dengan niat untuk ikut cawe-cawe dengan kegiatan Muhammadiyah nantinya.
Tapi setamat Jamsaren, Mukri tidak singkron dengan Muhammadiyah.
Beliau lebih dekat dengan fikiran-fikiran Abdur Rahman Al-Maraghi, penafsir ulung tepian sungai Nil.
Tafsir Al- Maraghi lebih jelas dengan ekhidupan muslim dimasa datang.
Tak lekang ditimpa panas tak lapuk di timpa hujan. Makin dipukul gelombang makin tegar.
Ikhwanul Muslimin, organisasi radikal yang hidup di Mesir, mereka sangat laras dengan tafsir Al Maraghi.
Islam tidak pernah mengajarkan nasionalisme kerdil, apalgi autokrat.
Pandangan penafsir (Abdur Rahman Al Maraghi) bahwa Muhammad adalah seorang Nabi paling universal tak lagi bersifat lokal.
Suku Qurais yang menjadi latar belakang kehidupan Rasulullah adalah ilustrasi bagaimana sebuah bangunan iman menjadi buah cipta hati yang elegant, jujur dan bersahaja.
Sedang Muhammadiyah sangat feodal. Bahkan cenderung menjilat dengan kekuasaaan yang didepannya.
Islam tidak terbatas pada akidah individual, tapi juga makin menyeruak sebagai akidah universal (kaffah).
Mukri sebagai kyai lebih suka memilih sikap mengambil jarak dengan Muhammadiyah maupun radikal.
Dimasa hidupnya, ia banyak dikunjungi para kyai atau pemikir-pemikir Islam. Beliau sebagai nara sumber yang mumpuni.
Kyai Abdur Rahma, Kyai Sulchan Michrom, Kyai Sukbi Alwi, dan para guru maupun kyai diluar lingkaran perserikatan itu acapkali sowan kesana .
Kenetralan ini beliau pertahankan sampai akhir hayat.
Fenomena H. Dimyati
sebagai anak lelaki sulung (barep) ia memang tergolong manja.
Kemanjaan itu menyubu pada perilaku ekstrim, bahkan ugal-ugalan. Ia sangat ditakuti oleh adik-adiknya, bahkan sebagian pamannya.
Tingkah laku hidupnya sangat bertolak belakang dengan yang lain.
Sering berbuat onar, sering menekan keluarga untuk memenuhi keinginannya. Dan Hj. Musrifah sebagai emaknya, ternyata banyak mengalah, akhirnya malah tak berdaya menghadapi putra barepnya yang selalu menciptakan keluarga resah.
Tapi ada sesuatu yang sebenarnya dimiliki orang ini. Ia sangat peduli dengan orang lain, terutama konco-konconya mbedugal.
Ia tak sampai hati membiarkan sebagai teman menderita sementara dirinya berkecukupan. Ia mengambil harta orang tuanya, dan itu dibagi-bagikan semua koleganya tanpa kecuali.
Ia ingin selalu menampakkan dirinya sebagai Robinhood, tokoh dongeng kerajaan Inggris yang termashur itu.
Peristiwa ini pernah terjadi, disuatu malam, disebuah warung di pinggir dusun. Dalam keremangan malam, salah seorang pengunjung warung kehilangan uang bendongan ketika dipungut dari undelansarungnya. Tentu saja uang receh itu menggelinding tanpa diketahui kemana. Semua pengunjung warung ribut saling ingin menolong.
Dimyati tahu bahwa uang sebesar bendongan cukup untuk membayar minuman dan makanan. Masih besar aji-nya, nilainya.
Serta merta Dimyati merogoh kantongcelana kaparnya, dan mengambil selembar uang puluhan yang cukup untuk mentraktir sepulur orang.
Tidak uash ribut-ribut. Ini uang untuk membayar semua yang disini. Sudah, tenang saja.....
semua pengunjung warung saling melongo dan terheran-heran.
Dan itu tidak sekali. Sering pula ia memberi uang untuk pemilik warung, untuk berjualan terus. Jika diketahui warung itu merugi. Dan peristiwa yang paling sulit dilupakan adalah aketika Dimyati mengikuti pemilihan kepala desa, lurah Pekajangan.
Calon kades saat itu dengan mengacungkan telunjuk jari langsung.
Seorang asisten wedana yang memimpin jalannya pemilihan lujrah di Pekajangan. Berlangsung disebuah pendopo darurat.
Dan yang membikin pendopo itu uang Dimyatri. Betapa okak-okaknya.
Pada waktunya acara dimulai. Asisten mengatakan : Siapa yang pilih Dimyati? Ngacung!
Ternyata dihitung asisten, cuma sepuluh orang. Yang hadir itu.
Dan ketika asisten mangatakan: Siapa yang memilih raden Askar?
Hampir lima ratusan lebih. Dengan demikian raden Askar menang mutlak.
Bukan main gusarnya Dimyati.
Selesai pemilihan kepala desa yang dimenangkan Askar,bukan main kecewanya, Dimyati.
Ia pulang menggebrak pintu.
Dia berseru kepada emaknya, Hj. Musrifah.
Matanya memerah seperti habis minum tuak.
Emak, kowe pingi aku minggat, ora?
Ora, Dim, ora. Ojo minggat, ono opo, lup?
Nek, aku ora sido minggat, endi emas-emasmu, kabeh kanggo aku.
Kowe kalah dadi lurah, yo?
Ora, mak. Aku kudu dadi lurah, saiki.
Lho, kan Asar sing dadi. Dim.
Ora perduli. Masak kantong iki weh ke kanggo bojone ndoro asisten. Wes mene, mal.
Tanpa berdaya, Hj. Musrifah gagal mencegah karepan anak yang kentoha itu. Melesatnya Dimyati ketempat tinggal Asisten Wedana di Kedungwuni.
Kebetulan sekali bendoro sten masih jagongan dengan bininya di pendopo Kawedanan.
Munculnya Dimyati, mengagetkan mereka.
Ono pop kowe Dim. Kowe kan wis dikalahke raden Askar.
Dimyati tanpa ngomong lama langsung mengeluarkan isi kantung kecil.
Tumpahlah isi kantong, perhiasan dari emas, milik kekayaan Hj. Musrifah.
Menyaksikan “keajaiban” itu istri ndoro seten membelalakkan matanya terheran-heran, sambil ngejuwis.
Maksudmu opo Dim?
Dimyati bilang:
Ini semua saya hadiahkan kepada penjenengan, ndoro. Kalau saya jadi kepala desa Pekajangan.
Lho? Asisten mendelik. Jadi, Askar dibatalkan?
Asisten semula menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi istrinya segera gipyak-gipyak, membenarkan maksud Dimyati.
Mas, asisten, mas, sudah to. Ndak apa-apa. Batalkan Askar. Ganti dengan Dimyati. Mosok lurah Pekajangan kok Askar. Miskin begitu. Selama hidup saya, belum pernah memiliki perhiasan sebanyak ini. Dim, kamu bilang benar, ini untuk saya, kalau kamu bisa jadi lurah Pekajangan? Sungguh?
Dimyati mengangguk.
Nanti saya tambah dengan yang lain. Biar sebagai istri ndoro siten tidak hidup melarat. Ndoro.
Heeh, heeh, bener Dim, kowe pancen cah pinter. Sudh, mas, Perintah asisten tanpa bisa membantah.
Asisten tanpa bisa membantah.
Dipanggillah askar menghadap.
Singkat cerita. Begitu Askar menghadap bendoro asisten, serta merta Asisten itu memukul Askar, sehingga Askar sempoyongan jatuh.
Menggertak Asisten.
Askar, kamu kepingin hidup atau mati, ha? Ketua Asisten.
Mukanya pura-pura memerah, marah.
Sambil menyembah-nyembah, Askar ketakutan.
Kulo kepingin dipun gesangi, ndoro. Saya pilih. Hidup, ndoro..... (suaranya menggigil tersendat-sendat).
Nah, kalo kamu kepingin hidup, serahkan jabatan lurah kepada Dimyati. Ini lebih pantas dari kamu, kan?
Kamu cukup jadi ulu-ulu. Sambil uro-uro.....
Dengan merunduk Askar bilang:
inggih, ndoro, inggih. Kulo iklas....
Akhirnya serah terima terjadi saat itu juga.
Istri asisten cengar-cengir, kegirangan.
Tidak lama di Pekajangan diumumkan adanya pergantian jabatan lurah.
Kudeta keci-kecilan dan tanpa mengucurkan darah terjadi saat itu.
Masyarakat Pekajangan saat itu terjadi pergunjingan.
Tapi lama-lama menyurut juga.
Sebenarnya memang Dimyati bisa menang dalam pemilihan itu.
Tapi orang yang bernama Syarif, masih famili Dimyati juga, dan dia seorang berandal gede di Pekalongan. Kehidupannya diwarnai dunia hitam, orang paling ditakuti, malang melintang melakukan semaunya. Dia tidak senang Dimyati sebagai lurah. Karena dia khawatir dunia aktivitasnya akan terganggu. Ia merasa pekewuh kehadiran saudaranya, masih cucunya sendiri jadi kepala desa.
Dia bisa tersendat dalam menguasai tingkah polahnya.
Maka jauh sebelum pemilihan kepala desa, Syarif menyogok ratusan orang Pekajangan untuk tidak memilih Dimyati. Pilih Askar. Yang lemah. Terbukti Askar yang menang. Lurah sebelum Askar, Amat, sangat tunduk kepada Syarif.
Askar yang bergelar raden, adalah keturunan raden Sutojoyo, pelarian prajurit Diponegoro mengikuti rombongan Ki Gombol.
Sutojoyo adalah guru ngaji, dan pengawal setia Gombol.
Tapi Askar yang sangat santun dan selalu memelihara sifat unggah-ungguh, tidak pas untuk jabatan lurah. Ia sebenarnya menolak untuk dicalonkan. Tapi Syarif menekan dengan keras. Ia pun mau.
Lelaki yang selalu mengenakan pakaian priyayi ini, tanpa lupa mencengkelang keris di punggungnya, pintar uro-uro, tembang Jawa.
Istrinya mbok Yuni selalu membuat jamu yang dikenal.
Hidup mereka miskin, dengan rumah beratap welit dan dinding bambu.
Ia memang pantas kalau jadi ulu-ulu desa. Kerjanya cuma mengawasi tersier, air untuk mbanyoni sawah.
Dimyati diangkat sebgai kepala desa, dengan pengorbanan emaknya, Hj. Musrifah yang sangat spektakuler. Perusahaannya luluh lantak.
Simpanan emas yang sebetulnya untuk tabungan bilamana produksi menurun ludes. Tidak itu saja, perhiasan yang dipakai anak gadisnya, di bronjoti dan untuk menyambung hidup perusahaan juga tak berhasil.
Tahun duapuluh enam saat itu memang situasi dunia mengalami krisis, krisis finasial, sebagaimana dijamin periode George Bush, Presiden Amerika yang ke 43.
di Jerman saat itu nilai satu dollar US, menjadi setengah milyar DM. (Deutch Mark, mata uang Jerman). Sehingga kalau untuk membayar gajih pegawai seluruh Jerman, kadang dalam membawa uang kertas DM itu memakai gerbong-gerbong kereta api.
Untuk menikmati secangkir kopi di sebuah kafe, orang harus membawa koper berisi uang kertas DM. Satu cangkir kopi hangat senilai sepuluh juta DM.
Hindia Belanda, khususnya Jawa hampir melanda kemiskinan yang berat. Penyakit hongoroedem meraja lela.
Tapi ini sungguh merupakan fenomena tersendiri.
Dibawah kepala Desa Dimyati, desa itu anehnya terhindar dari penyakit H.O.(busung lapar).
Inilah kebijakasanaan yang ditempuh Dimyati sebagai lurah.
Begitu dia diangakat sebagai kepala desa,semua penduduk Pekajangan, yang saat itu jumlahnya sekitar seribu.
Dalam orasinya, dia berujar :
pemerinath Belanda meminta saya untuk mengirimkan orang-orang yang menganggur untuk dikirim keperkebunan-perkebunan baik diluar Jawa maupun di Suriname, jauh diujung benua lain.
Tapi hari siapa yang masih bekerja, tidak diwajibkan.
Ingat pengangguran memang sumber kemiskinan.
Ucapan Dimyati ini sangat mengena. Siapa orangnya secara suka rela mau jadi rodi seperti jaman Deandeles tempo dulu. Ngeri sekali.
Imbasnya, orang-orang memulai menciptakan kegiatan, bekerja seadanya.
Jadi buruh tenun, buruh ngantih benang, berdagang daun pisang, membajak sawah, menaanm ketela, ubi kayu dan menanam apa saja yang menghasilkan.
Dalam tempo tidak lama, penghasilan rakyat mulai dirasakan.
Tenun stagen jadi andalan. Begitu juga kerajinan batik.
Mulai terangkat adanya kelas pengusaha. Bersamaan dengan itu perusahaan Hj. Musrifah meluntur. Beliau sudah tua tidak selincah dulu.
Kekayaan terkikis, dan berapa anaknya mulai menggalang usaha, menggantikan orang tuanya.
Hj. Marli'ah, sebagai istri H. Dimyati, tidak dibolehkan mewndireikan uasha sebagaimna orang lain.
Sebagai istri kepala desa harus ikut kepedulian besar akan nasib penduduk Pekajangan.
Susah ikut meraskan, kalau rakyat senang, jangan nerimbung.
Hj. Marli'ah, sebagai putri sulung H. Isma'il sungguh memahami apa yang dikehendaki H. Dimyati.
Padahal keluarga H. Isma'il adalah keluarga sukses sebagai pengusaha.
Rumahpun berdinding bambu. Hidup tidak perlu mewah, mewah itulah Dimyati.
Lelaki yang semula babral krowa, Dimyati tumbuh sebagai seorang pemimpin puak yang penuh karisma.
Kemanapun terlindungi. Inilah salah satu cara bagaimana Pekajangan tidak disusupi pencuri atau garong.
Untungnya Syarif yang mulai menua, tak lagi banyak melakukan hal negatif disamping itu ternyata Syarif ini terlibat sebagai pengusaha juga.
Jadi setiap ada orang melapor akalau rumahnya kemasukan pencuri dan membawa kabur betamal entah kain mori, batik atau benang, lurah Dimyati selalu bilang, tidak usah khawatir. Kamu tungg, kalau perlu menginap di rumah saya, nanti pamong saya perintahkan mengendus siapa pencuri itu.
Seorang pelapor yang disuruh sampai menginap segala, tentu keberatan sebab dirumah banyak kesibukan. Akhirnya pelapor itu lebih suka memilih akan mencoba mencari sendiri siapa pencuri itu, dan ngacir pulang.
Dan acara itu mengakibatkan orang yang kecurian, mengatasi sendiri keamanan dirumahnya masing-masing.
Asisten wedana yang berkuasa di kawedanan merasa salut pikiran jernih lurah Dimyati.
Popularitas Dimyati memegang sebagai kepala Desa sempat diabadikan dlam buku ensiklopdia pemerintahan Belanda, sebagai fenomena jenis kepimpinan.
Suatu harri , guvernor Jendfral Belanda berkunjung ke Pekajangan.
Guvernor Jendral itu bernama Van Tjandra.
Dia ingin menyaksikan usaha kerajinan batik di Pekajangan.
Sebagaimana pernah pula ia kunjungi di Yogyakarta dan Pekalongan.
Tidak seperti sambutan di Yogya maupun di kota Pekalongan sendiri yang dikalangan pejabat maupun orang-orang pengusaha, cara amenghadapai guvernor bule itu dengan merunduk-runduk. Bahkan di Yogya dengan menyembah.
Di Pekajangan tak seorang pun berlaku ngapurancang, runduk.
Orang mengajak bersamaan dengan guvernor itu dengan jabatan tangan biasa dan setengah sendau gurau.
Ha, tuan guvernor, warum meneer, warum meneer......
Van Tjandra kaget, campur kagumdan gali.
Barbarkah orang-orang itu. Tapi kalau diajak bicara, pintar menguraikan, seluk beluk batik dan proses penciptaan, secara cerdas.
Van Tjandra bertanya kepada Dimyati, disini kenapa Liberal kebudayaannya seperti negeri Kincir angin itu.
Lurah Dimyati menerangkan asal muasal budaya itu.
Pekajangan bukan dihuni oleh pribumi-pribumi asli dalam arti lugu.
Disini penduduk sudah campuran, asimilasi dari beberapa jenias bangsa. Keling, Arab, Cina, Portugisdan Belanda sendiri.
Kita sudah nasionalis sebelum ada jor nasionalime Bung Karno dan Bung Hatta. Jangan heran, tuan.
Van Tjandra manggut-manggut, terkagum.
Perkenalan governor Van Tjandra dengan Dimyati sukar dilupakan.
lebih-lebih setelah tahu istri Dimyati ada lima. Dan seorang adalah keturunan Belanda, anak putri Don Songet, berdarah Indo Belanda Belgi, Don Songet adalah arsitek pengairan ang pernah menciptakan jembatan lengkung di Surobayan. Perkawinan itu sayangnya tidak membuahkan keturunan. Kalau dengan peranakan Cina, di Kertasemaya, Cirebon, ada melahirkan anak, namun, sampai sekarang tak seorangpun keluarga Dimyati melacaknya.
Sewaktu Dimyati nyatri Buntek, Kuningan dia menjalin asmara dengan perempuan bernama Sonah. Dia peranakan Cina ikan asin.
Pemimpin yang karismatik dan kontroversial itu menjadi cerita legenda sendiri.
Awal masuknya Muhammadiyah di Pekajangan
Dan dibawah kepimpinan K.H. Abdur Rahman
Tahun 1920
Setelah mengalami masa karantina politik kekuasaan kolonial Belanda, persarikatan Muhammadiyah mulai keluar dari sarangnya, Yogyakarta Hadiningrat.
K.H. Ahmad Dahlan mengirim utusan ke Pekajangan.
Ki Projokusumo. Orang masih berdarah biru, sesepuh Kauman.
Beberapa orang Pekajangan yang terpandang diundang dalam pertemuan itu. Dimyati, Makhali, Abdul Aziz, Mashuri, H. Jalil, dan beberapa putra H. Abdur Rahman sendiri, yang jadi aktifis, Abdur Rakhim. (Abdur Rakhim meninggal dalam usia muda dan belum sempat menikah)
Maka dimaklumatkan berdirinya organisasi persarikatan Muhammadiyah.
Yang dipilih menjadi pemimpin waktu itu, pengurus, sebenarnya Dimyati.
Semula Dimyati bersedia sebagai hoodfbestuur. Tapi konco-konconya menyarankan untuk menolak, (waktu itu Dimyati belum magang lurah desa)
Dimyati menolak, dengan alasan belum patut jadi hoodfbestuur. Kemudian dilimpahkan kepada adiknya, Makhali, tidak setuju juga. Justru Dimyati merasakan kalau adiknya itu jadi ketua organisasi, Makhali yang alumni Mamba’il Ulum, Solo, sama dengan pesantren yang dimasuki Dimyati, memberi alasan kepada K.H. Abdur Rahkam, bahwa Makhali sangat dekat Kyai Dasuki, kyai merah yang dekat dengan Sama’un. Makhali ekstrim, dan kekiri-kirian. Dia sangat mengandalkan tafsir Al Maraghi. Bedanya dengan Mukri yang juga mahir dalam tafsir Al Maraghi, Mukri condong kepada Al Afghani, pemikir dari lembah Kirghistan.
Bersifat hijau pekat. Bersebrangan dengan Makhali.
Wasana kata maka ditunjuklak K.H. Abdur Rahman sendiri sebagai orang pertama Muhammadiyah.
Kiprah pertama KH Abdur Rahman membenahi pendidikan.
Didepan rumahnya dibangun sekolah agama ‘Al Wusqo’, mengajarkan ilmu taukhid dan pelajaran bahasa Arab. Banyak murid berdatangan dari sekitar, malah dari Pekalongan-kota dan Batang.
Benar juga dugaan Dimyati. Makhali sejak tidak diterima sebagai penguruh Muhammadiyah, dia kasak kusuk dan bergerak dibidang politik.
Kasak kusuk ini membuah realita, diundangnya tokoh besar seperti Sukarno, sang proklamator kemudian itu) Lewat komunikasi dengan Romolawi sebagai tokoh marhaen Pekalongan.
Sukarno berpidato di sekolahan Al Wusqo iti.
Gegerlah Pekajangan. Polisi Belanda memanggil orang orang dibelakang kedatangan Sukarno. Termasuk Dimyati sendiri
Waktu itu delijk hukum bisa didakwakan ebagai perbuatan makar.
Sebab Sukarno dianggapnya melawan Belanda.
Sejak itu Kh. Abdur Rahma melarang move politik dan membatasi Makhali sebagai aktivis Muhammadiyah.
Buah kepimpinan periode awal Muhammadiyah bergerak cepat.
Untuk mengatasi kebutuhan ilmu untuk anak-anak, maka didirikan HIS Muhammadiyah, otomatis menyaingi sekolah-sekolah yang dibangun oleh kolonial Belanda. Pertama His atau setingkat sekolah dasar enam tahun dibangun ditengah pedesaan. (sekarang ditempati oleh STIKES)
milik Muhammadiyah juga.
Juga diadakan sekolah taman kanak-kanak atau mirip Frobel, yang didikelola Aisyiyah. Mar’ Yahya, Mutri’ah Zakaria, diantaranya yang sempat mengajar disana.
Kepimpinan KH. Abdur Rahman cukup lama, sebelum beliau digantikan putranya Abdur Rakhim.
Tak banyak catetan masuk dari corak kepimpinan putra KH. Abdur Rahman itu.
H. Wasil Dimyati.
Pemuda tamatan HIK Bandung ini bergelora atas prakarsa dunia pendidikan. Tahun 46 sehabis Jepang tekuk lutut, beliau bersama sahabat sahabat kentalnya mendirikan SMP (sekolah menengah pertama) Lokasi darurat menempati rumah-toko milik H. Abdal.
H. Wasil, adalah idealis yang berkibar. Tak orang yang bersemangat seukuran dia.
Meledak-ledak dipacunya orang-orang Muhammadiyah dan sekitar dari kebodohan dan sifat rendah diri (meinder wardig hetcomplex) Akibat penjajahan yang lama.
Mendirikan sekolah disaat kondisi negara semrawut adalah jiwa pionir
Waktu itu, Jepang kalah perang dan Belanda menginginkan kembali tanah air ini.
H. Wasil mengelola Smp sambil ikut berjuang membela negara.
Dia langsung terjun sendiri meminta dana masyarakat dan uangnya untuk membeayai sekolah yang dipimpinnya itu. Dia dibantu sepenuh hati oleh rekan-rekan dekatnya.
Karena semangat dan ketulusan tanpa pamrih.
Smp makin berkembang. Sambil Muhammadiyah membangun Masjid dengan nama At Taqwa, disebelahnya dibangun pula SMP.
Tidak lagi darurat.
Tidak lama kemudian, tahun lima puluhan lebih sedikit, dibangun pula SMA Muhammadiyah yang berlokasi dikota Pekalongan.
H. Wasil tak hanya berkiprah dilembaga pendidikan, Untuk mengisi kegiatan anak-anak muda, ia dirikan sepakbola Hizbul Wathon.
Dan sekaligus menyiapkan lapangan tempat bermain.
PS HW sempat menjadi idola kalangan sepak bola maniak.
Dari gelanggang olahraga ini muncul Chaerul Akhwan yang pernah bermain disebuah klub terhormat di Jakarta, sampai bertanding di Malaisia. Ps angkiasa. Belum pemain-pemain lain.
Ditahun sebelum perang, H. Wasil mendirikan jazz-band sebuah kelompok musik modernsaat itu dengan pemain, ada Rusdi Syakur yang memetik gitar, ada Zen Pentil yang meniup klarinet, dan H. Wasil sendiri yang memainkan piano.
Sayang pertumbuhan jazz band itu tidak lama, karena KH. Abdur Rahman tidak menyetujui, dianggap musik haram. Permainan Syaitan.
Tapi sikap prohibisionis orang tua itu dianggap positip oleh Wasil putra H. Dimyati itu, dengan menjalin cinta kasih dengan anak gadisnya, Siti Fatimah.
KH. Abdur Rahman lebih murka lagi.
Tapi cinta yang bersemi oleh kedua insan itu tak bisa dibendung. Akhirnya KH. Abdur Rahman mengalah. Mengizinkan mereka menikah.
Sejak Pekajangan dibuka lembaga pendidikan, dan menghasilkan orang-orang terpelajar, berkat pikiran Wasil ini sungguh luar biasa.
Ribuan orang pernah dibuka akal fikirannya dengan memberikan ilmu
Dan ini memang seharus lembaga Muhammadiyah dalam dunia pendidikan memberikan semacam award kepada Wasil. Meskipun itu bertempeeamen kethus.
Agaknya kata-kata Sukarno bahwa bangsa yang menghargai pahlawannya adalah bangsa besar.
Masyarakat Muhammadiyah Pekajangan belum sejauh itu, dan tetap kerdil.
Dalam pengertian kaidah umum.
Kepimpinan dibawah HM. Jazuli.
Orang ini pernah menjadi juru mudi Muhammadiyah dalam periode yang cukup panjang. Pada periode dia, Muhammadiyah menapakkan kaki mencari sumber pendanaan untuk seolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah
Salah satunya adalah lewat Koperasi Batik Pekajangan.
Koperasi batik Pekajangan yang didirikan tahun 1937, setelah pernah raib, muncul hilang, muncul hilang. Oleh trio H. Afdol Jalil, H. Dimyati, H. Khadiri Mashuri dan H. Ridwan, mencapai masa jayanya ketika juga dipegang oleh HM. Jazuli.
Licensi istimewa mulai mengalir dari kebijakan pemerintah.
Pekajangan berubah menjadi masyarakat borjuis, tidak lagi nkrengges, alias miskin.
Setelah Belanda beserta militernya hengkang dari Pekajangan tahun 1949/1950, perenana koperasi batik mulai mencuat.
Dimana-mana orang berusaha untuk mencipta home industri.
Tenun manual dan batik setenagh seni mulai digagas, membuahkan hasil
Gagasan itu membuahkan pula berimbas pada pola kehidupan yang lain.
Gaya hidup borjuis, dan sifat feodal kembali terangkat.
Persaudaraan pun berubah. Kaya dekat kaya, miskin tetap terlunta-lunta.
Hali itulah yang menyebabkan di Pekajangan muncul PKI (partai komunis Indonesia, dengan pemimpin mereka mayoritas adalah buruh ngecap dan kuli keceh. Meskipun partai tidak menonjol dan kurang potensial, ini akibat kelengahan Muhammadiyah yang suka memilih orang berharta.
Kalangan tidak mampu dikecohkan. Lihat saja waktu itu. Warung saja berbeda versi. Versi orang-orang berduit, para OKB, memilih warung sendiri. Warung kalangan pembeli miskin memilih sendiri juga.
Dua partai kiri, waktu itu, PNI Marhaenis, dan PKI telah dianggapnya najis dan haram untuk didekati.
Mereka banyak kehilangan pekerjaan.
Periode HM. Jazuli ini banyak menampilkan kecenderungan sikap tidak senang orang-orang benasib jelek.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah pun tumbuh bibit-bibit nepotisme untuk keluarga kaya.
Bangkitnya Koperasi Batik Pekajangan
Koperasi Batik Pekajangan didirikan pada pertengahan tahu 1937,oleh beberapa eksponen kaum muda yang peduli akan nasib kaum pribumi. Dari lobi-lobi yang dilakukan oleh Kadir Bakri, H. Afdol, H. Halim lurah Dimyati dengan Joyohadikusumo, ayah dari profesor Sumitro dari Purwokerto, terbit gagasan pentingnya mendirikan koperasi dikalangan pribumi khususnya, dan kalangan ekonomi lemah.
Joyohadikusumo menyarankan pengusaha batik perlu diajak berkoperasi.
Dari gagasan gagasan intens itu realitapun lahir.
Tapi prospek perekonomian kolonial masih suram saat itu, akibat keterpurukan ekonomi dunia, dan kekuatan Jerman dibawah Hitler, Italia dibawah diktator Musolini, dan Jepang dibawah jendral Tojo yang chauvistik, mempengaruhi kondisi ekonomi menjadi miring kearah keguncangan.
Koperasi batik juga tidak tahan atas guncangan itu.
Saat itu belum ada sistem perlindungan ekonomi untuk orang pribumi.
Sistem monopoli dan bau kapitalisme masih menyengat tajam.
Koperasi yang masih berkutat dengan pola distribusi barang dan P&D, pembagian province and dunken, jatuh bangun, tersendat.
Baru setelah lepas tahun limapuluhan, koperasi batik Pekajangan kelihatan survive.
Bahkan tahun empat sembilan, kemudian, banyak didirikan koperasi seragam yakni batik. Dikota Pekalongan sendiri didirikan oleh A. Junaid dan kawan-kawan, PPIP, diSolo dengan Batari, di Yogya, Mataram, Cirebon, Tasikmalaya, dan Jakarta sendiri.
Bahkan mereka melakukan penggabungan, yakni GKBI (gabungan koperasi Batik Indonesia) sampai sekarang masih berlangsung, meskipun GKBI tidak seideal seperti dulu, melayani pada konsumen dan anggauta, tapi telah berobah menjadi semacam holding company, saat ini dibawah sindikita Noorbasyah Junaid.
Dari keuntungan koperasi batik Pekajangan memang mampu membiayai roda Muhammadiyah, juga berperan penting dalam mendongkrak faktor kemiskinan. Banyak dibangun rumah-rumah mentereng, pranggok yang hidup dan senantiasa berkepul.
H. Khadhiri Mashuri yang memegang kemudian koperasi sebagai toko houder, berhasil mengelola jalannya koperasi. Disanalah seorang pengusaha batik dan tenun bisa membeli peralatan dan bahan untuk produksi batik dan palekat.
Apalagi setelah muncul co.partner, koperasi tenun (Proteksi) yang berada didesa Bligo, sebelah Pekajangan, degup perekonomian kian kinclong mencorong.
Itu berjalan sekitar antara tahun 50 han sampai tujupuluhan, setelah itu peran koperasi nampak menjadi suram dan menyakitkan.
Indonesia yang tidak pernah dalam menstimulasi ekonomi modern, karena kecerdasan yang terbatas, selalu memergoki suasanua buram ditengah gemuruh persaingan global.
Batalion ‘Tikus Gurun’ masuk Pekajangan
1948-1949
Hari belum siang benar, ketiga iring-iringan truk besar penuh pasukan secara bergelombang berhenti didepan masjid At Taqwa, masjid kebanggaan masyarakat Muhammadiyah Pekajangan.
Pasukan berseragam loreng dengan mencangkingsenjata masing-masingberperawakan tinggi besar, sebagian, itu orang-orang Gurkha aslinya dari Nepal, diUtara India sana. Mereka banyak yang mengenakan surban dipelanya, maka mudah, sebagian lagi memang orang bule, jangkung dan berkulit putih. Pasukan dari negeri oranye (Belanda)
Yang brewokan dan bersurban itu adalah tentara bayaran, sebuah legiun asing milik Inggris yang disewaa Belanda. Atau mereka atas nama sekutu.
Mereka turun serempak dan sedikit ribut.
Berbaris rapih dengan sebagian besar memakai topi helm hijau.
Suara suara komando terdengan, disahut satu per satu. Ternyata absen.
Tidak lama kemudian mereka. Mereka menyebar. Ada sejumlah tentara bule itu masuk kekampung saya. Dan belakangan aku mengenal akrab mereka.
Pekajangan telah dihuni tentara sekutu atau lebih tepatnya tentara Beladan untuk berusaha kembali menduduki tanah tercinta ini.
Banyak tempat-tempat, rumah-rumah penduduk Pekajngan diambil alih oleh tentara pendudukan itu.
Ada tiga puluh rumah, semuanya yang bagus-bagus, milik orang kaya Pekajangan, ada yang dijadikan tempat menginap, ada juga untuk dapur umum, tak ketinggalan rumah untuk dijadikan tempat ibadah. Tentu dibuat seperti gereja perananya. Pada hari Ahad pagi, mulai terngar acara katholik. dengan khutbah berbahasa Belanda dalam sembahyangan.
Saya mengenal figur-figur dari personil tentara itu. Diantaranya sersan Willy. Kopral Adam. Dan mayor besar Thermohuisen.
Tenyata di Pekajangan bercokoltentara berpangkat, bukan asal prajurit.
Mereka saben harinya mereka jarang melakukan aktivitas rutin, seperti latihan tempur, kadang-kadang saja sebagian pergi beberapa hati dan kemudia kembali ke Pekajangan. Ada bisik-bisik, mereka dikirim ke front diarah selatan, atau mereka Cuma melatih prajurit ditangsi besar dikota.
Tetapi dibalik kehadiran tentra sekutu dan penjajah itu, ada kisah sebelum pasukan bule itu masuk.
Pihak gerilya kita, pimpinan Isma’il Hasan Idris, merencanakan penghadang, agar manuver batalion ‘Tikus Gurun’ itu menghandapi perlawanan dari pejuang-penjuang tanah air.
Gambar tikus berwarna hitam disetiap ransel yang dibawanya, Juga cap dikaos shirt yang dipakai, memang itulah pasukan Tikus Gurun milik Inggrisyang ditakuti dan disegani Jepang sebagai musuh saat itu.
Rencana penghadanganitu rupanya terdengar oleh h. Dimyati, yang selama perang kemerdekaan sosok ini meletakkan jabatan kepala desanya. Dengan alasan tidak sudi jagi lurah belanda. Lurah begundal.
Kemudian diserah terimakan kepada Saleh, yang dipilih oleh penguasa penjajah. Saleh ini kemudian dibunuh oleh gerilyawan yang menyusup. Dianggap penghianat negara.
Saleh ditembak sehabis cukur rambut ditukang cukur Su’in Bangkalan. Ketika ia keluar dari kios cukur dan menyebrang jalan menuju gang 9 Pekangan dua orang menyergapnya, langsung tultis. Senjata menyalak. Menggelepar lurah Saleh.
H. Dimyati serentak mendengar rencaana isma’il, yang juga besan kedua orang itu, ditemuinya Isma’il hasan Idris, yang guru ngaji. Dialogpun terjadi, Keduanya Pejuang, tapi punya taktik berbeda.
H. Dimyati tidak sependapat dengan rencana penyergapan itu.
Belanda bisa kehilangan beberapa prajuritnya , karena dijebak.
Tapi pembalasan Belanda jauh lebih seru dan mengerikan.
Belanda tidak hanya membalas, tapi akan membalas lebih keras.
Bisa-bisa selurug rumah dipekajangan ini dibumihganguskan.
Orang-orang sipil diseret dan dibunuh karena dianggap melindungi gerilyawan. Bahkan anak-anak kecil termakan peluru nyasar.
Terbunuhnya personil tentara musuh tidak seimbang dengan kurban yang dibayarkan.
Ada saran dari H. Dimyati, sebaiknyapara pejuang dan gerilyawan melukan pancingan-pancingandidaerah kosong dipinggir hutan yang tak berpenghuni. Hitung-hitung menguji kepintaran perang.
Karena rasa hormat kepada H. Dimyati, ustaz Isma’il Hasan Idris membatalkan rencana spekulatip itu. Dan Pekajangan jadi aman.
Sampai tentara Belanda itu dengan pasukan ‘Tikus Gurun’ itu ditarik kearah Yogya untuk membantu pasukan mereka bertempur disana.
Tulisan besar-besar dan berbunyai ‘naar to Yogya menghiasi truk-truk pengangkut pasukan.
Hanya empat bulan Pekajangan ditinggal tentara sekutu.
Ada juga manfaat yang ditinggalkan tentara musuh itu.
Permainan pingpong menjadi kegiatan anak-anak Pekajangan, juga sepak bola. Memang ternyata dua cabang olah raga itu sejak lama menjadi prestasi negeri kincir angin itu. Sampai sekarang Belanda selalu mendapatkan nominasi atas dua cabang olah raga itu didunia.
Seorang kyai yang kuno tapi karismatik
Sosok K.H. Sulchan Michrom
Kyai ini ssungguh sangat bersahaja. Rumahnya kecil, tidak bercat meskipun bersih dan dilabur putih pada dinding-dindingnya.
Ia memang memilih hidup sebagai seorang zuhud, dan menjauhi kemewahan. Beliau ini seakan-akan nyaris mengikuti alam tasawuh dan berlaku sufi.
Namun buah pikirannya lama berpengaruhatas kehidupan para santri Muhammadiyaj.
Dan selalu jadi lukisan keteladanan, dan banyak dikutip kata-katanya sebagai acuan hidup.
Orangnya semampai, selalu memakai sarung dan kemeja berlengan panjang atau baju ‘koko!
Menurud Farid Akhwan, ketua pengurus Muhammadiyah daerah Pekalongan, perawakan dan parah Kyai Sulchan Michrom ini mirip Ishak syamir, tokoh besar Israel, pusat kebencian orang-orang Arab.
Tapi lain kya Sulchan lain Ishaka tentunya. Kyai Sulchan sangat konsisten dengan Islam, dan Ishak syamir kader Zionis yang culas.
Sebaliknyan kyai Sulchan seorang yang jujur, seluruh hidupnya untuk dibaktikan kepada warga Muhammadiyah khususnya, juga warga ummat Islam umumnya.
Di Pekajangan ada tiga figur yang menjadi buah rindu mengkolaborasikan iman kepada Allah s.w.t.
Disamping kyai Sulchan Michrom, juga tokoh legendaris dua yang lain, K.H. Abdur Rahman dan H. Dimyati.
Hampir-hampir ketiga orang ini dilambangkan sebagai berhala pujaan warga Pekajangan.
Mereka seolah tak sekedar sebagai manusia biasa, tapi sudah tak berjejak dibumi. Seperti tokoh dalam pewayangan, merekalah dewa yang memberikan pelayanan seluruh hidupnya sepanjang hayat.
Segala sepak terjang, dan intrepretasi kehidupan mereka selalu bersandar bagaimana ketika berhala itu berpendapat.
Sangat banyak mempengaruhi jalan hidup setiap individu didesa ini.
Mereka merasa ‘angstpsychose’ bilamana perbuatannya mdari fatwa ketiga kyai besar ini.
Karena sangat mencintai dan memuja ketiga orang ini, nyaris menjadi buku suci disamping kitab suci agung, Alqura’an
Jika ditilik masing-masing figur itu, saling berbeda, baik metode pengajaran Islamnya maupun sifat-sifat yang dimiliki ketiganya.
K.H. Abdur Rahman lumayan keras dalam menjaga moral-attitude dengan vokal lumayan gede dan serak-serak, aksentuasinya berbau menekan. Dalam dunia wayang , ia bisa disebut mirip Kresno yang suka memberi nasehat kepada Pendawa untuh patuh.
H. Dimyati bukanlah kyai atau guru. Ia sebenarnya mirip laku Arjuna, dan memang bersifat Flamboyan. Orang-orang mendewakan Dimyati karena kelakuannya yang platar.
Bahkan royal. Ia menganggap hidup ini tidah usah serius. Biasa saja. Semua akan berakhir. Dimyati yang memang pecandu wayang , diberhalakan karena rasa kagum kepada lelaki yang memang dimsa mudanya gagah dan ganteng. Ia dimasa mudanya jelas sebagai pemuda idola. Termasuk bagi perempuan.
Ia tak pernah berbohong, kalau ia berjanji.
Kejujuran yang polos ini memukau. Sebagian besar hidupnya untuk orang lain, dengan merasa senang dan bangga.
Ia tentu saja berseberangan dengan H. Abdur Rahman, terutama dalam menjalankan syariat Islam. Tapi Dimyati punya kartu trup yang membuat kyai Durahman menjadi keduwung.
Suatu hari kyai Durahman ngomong kepada Dimyati, perihal keinginan membuat masjid khusus untuk Muhammadiyah.
DiPekajangan sudah ada masjid yang bernama ‘Jami’ dilorong 19, dan itu atas prakarsa buyut Ilyas, kakeknya Dimyati sendiri. Tapi masjid Jami’ dipakai dua aliran. Muhammadiyah dan N.U.
Kyai Durahman tak suka. Biar saja jam’ dipakai mereka.
Dan itu waqaf H. Ilyas sesepuh mereka.
Begitu Dimyati mendengar, esoknya ia berusaha membebaskan tanah milik H. Sirad, yang rumahnya di lorong 15. Tepi jalan raya.
-Rad, kowe pingin mlebu suargo ora, mbesuk nek mati?
H. Sirad serta merta menyahut :
-Ya yo, Dim. Pingin. Wong suargo kok.
-Lha, nek kowe pingin temenan, kae tanahmu sing nang sebrang kulon kae, jejeran karo omahe lik H. Raokah, tak jaluk Muhammadiyah oleh ora !
-Kanggo opo Dim.
-Kanggo masjid !!-
Ya, akur Dim, akur.
Dengan gito-gito H. Sirad memanggil H. Maemonah, bininya dan mengutarakan maksud Dimyati. Maemonahpun iklas memberikan.
Segera pembangunan pun dimulai.
Kyai Durahman bagaikan patung, saking kagumnya.
Itulah Dimyati.
Sementara yang berikutnya, sosok sentral ini, K.H. Sulchan perangainya mirip Yudhistira. Tokoh mbarep Pendawa.
Santun, ngasor dan hati-hati dalam dialog.
Tapi jangan dikira dalam mempertahankan aqidah dan mu’amallah yang hak dan bathil. Dia menjelma menjadi harimau yang siap untuk melawan.
Dalam suatu peristiwa, sejumlah eksponen muda Muhammadiyah mementaskan sandiwara yang berbau Islam. Kisah Abdullah, ayahda dan Aminah, ibunda Rasul. Dalam adegan itu Abdullah merangkul Aminah karena dia istrinya.
Dengan spontan Kyai Sulchan melarang keras adegan itu.
Malah cerita itu diubah. Jangan model picisan kayak gitu.
Dengan bujujan apapun, Kyai tua itu tidak bergeser.
Menolak keras. Kita tidak patut menampilakan adegan seperti ‘filmBarat’, haram, kerutuknya tegar.
Akhirnya malah pementasan itu dibatalkan, karena kontroversi jadi merebak. Kalangan tua pun dibelakang kyai Sulchan. Menolak.
Orang-orang muda jadi menyerah. Gagal.
Ituuntuk urusan moral dan akidah.
Tapi kalau soal humor, mengejek dia , kyai karismatik itu sungguh toleran.
Suatu malam, penulis ketemu belaiu dalam acara khitan anak tetangga. Karena banyak luan, penulis membanyol.
Oenulis bilang dengan berepa tamu yang sudah datang.
‘Dikampung kita ini, kalau meninggal semua dan sudah jadi penghuni alam akhirat, yang pertama kali masuk surga adalah H. Sugeng Irfan.
Semua yang mendengar kaget dan tanda tanya timbul.
- Kenapa? Apa lasannya, kok sampeyan tahu.
- H. sugeng diterima semua amalannya. Semua nilai sepuluh.
- Lha ya kenapa?
- Dia menyembah betul kepada Allah, ikhla menjalani Islam sesungguh sungguhnya.
( H. Sugeng Irfan yang kebetulan sudah hadir juga dan duduk sila disudut ikut tercengang karena namanya penulis kait)
- Didalam Al qur’an diperintahkan agar lelaki bisa mengambil istri lebih dari satu, poligami, karena Islam biar diikuti ummat yang makin besar didunia ini. Allah sangat mencintai orang yang membela agam Allah. Surga lah pahalanya.
Jadi sholat, sodaqoh, pergi haji Sugeng itu karena takut pada Allah, semata-mata, tidak takut kepada seseorangpun. Termasuk istrinya. Jadi ibadah Sugeng ini dikerjakan karena taqwa, bukan pamrih.
Semua yang hadir saling cengingisan. Setengah senang setengah mesem.
Seseorang nyeletuk :
- Lantas siapa paling akhir masuk surga warga kampung kita ini?
Penulis tercengung, melirik ketempat sila K. Sulchan.
- Yang paling akhir masuk surga dan surganya klas krotak, adalah kyai Sulchan. Maaf ya kyai. Ini banyolan.
Serentak semua yang hadir ketawa kecut.
- Ah, Yunus ini memang seneng ada-ada saja. Suka ngarang…..
Kok bisa seorang kyai sepuh seperti pak Sulchan masuknya surga klas krotak. Terangkan dong.
Penulis mesem sejenak,
- begini. Pada saatnya pak Sulchan disuruh menghadap Allah, Allah memerintahkan seorang malaikat membacakan rapot kyai haji Sulchan. Bacakan, perintah Allah.
- Inggih gusti, celetuk malaikat dan langsung membacakan iisi rapot
K.H. Sulchan Michrom?
- Inggih, kulo. Sahut pak Sulchan.
- Tempat tinggal Pekajangan, dunia.
- Nginggih.
- Nilai sholat lima,sodaqoh, 3. Dumeh kyai sungkan sodaqoh. Syi’ar sembilan. Taqwa dua.
Sampun gusti. Kata malaikat.
Allah memutuskan :
- Baik, kepada kya Sulchan, ada pertanyaan.
- Gusti pangeran, kuloini sedaya peenguripan kulo serahkan kangge Islam. Kulo milih gesang sederhana. Sodaqoh ilmu hampir saben dinten, kok kulo diparingi nilai merah, dado pundi, Gusti.
- Apakah kamu disertai ikhlas, bukan sebab ri’aannas?
- Mboten, gusti, kulo ikhlas.
- Sungguh?
- Nah, kenapa kamu takut kawin lagi, padahal syi’ar Islam semakin besar kalau ummat islam semakin banyak.
Kamu sering mengajar kitab suci AlQur’an, tapi kamu selalu melewati perintahku bahwa lelaki bisa berpoligami.
Itu artinya kamu karena takut istri, kamu tidak berani ambil istri lagi.
- Saya kasihan sama istri say,a gusti.
- Kasihanmu pada istri melebihi taqwamu kepada Allah? Begitu? Kamu sanjung istrimu adalah segala-galanya, tidak berani kawin tiga sampai empat seperti dilakukan rasulmu?
Kok kamu bilang taqwa, taqwa macem apa itu.
Kamu harus menunggu masuk surga, tidak masuk sekarang.
Dan surganu klas embek……
Terjadilah ger-geran.
Tapi hebatnya, pak Sulchan ikut mesem, ikut geli….
Dia tak tersentuh, hanya itu guyonan model sufi juga.
Dia bilang banyak membaca humornya orang sufi. Seperti Nasrudin, Syech Abdul Kdir Jaelani, Abu nawas….
Memang semasa hayatnya, K. Sulchan adalah hampir-hampir tertutup rapat soal perempuan. Beliaumenikah lagi, setelah istri pertamanya meninggal dan malah beberapa kali menikah, karena mungkin tidak cocok.
Tidak seperti H. Dimyati. Flamboyan ini pernah berekali kali menikah. Dan yang memiliki keturunan tiga empat orang. Ibu Hindun, ibu Waryati, ibu kasmonah. Dan seorang perempuan Cina di Kertasemaya, Cirebon. Disamping ibu H. Marli’ah, kesmuanya meninggal dalam usia tua.
Memang kalau setiap ditanya kenapa pak Dim suka kawin.
Jawabnya polos : Kalau itu bukan perintah Tuhan, saya tak berani.
- Lihat saya keturunan saya di Pekajangan cukup banyak.
Mengalahkan H. Mashuri yang suka juga melakukan poligami.
Kita kita termasuk lelaki pemberani, bukan pengecut.
Alasannya saja sangat mencintai satu istri. Itu bohong…
H. Ahmad Ambari dan H. Khadhiri Mashuri.
Duet pengayuh bahtera Muhammadiyah.
Dua orang ini, masing-masing, secara pribadi adalah sangat dekat dengan hati saya.
H. Ahmad Ambari, beliau pernah menjadi guru di SR. Muhammadiyah yang sekarang ditempati STIKES Muhammadiyah depan masjid Taqwa.
Dan mengajari saya tentang tulis menulis huruf latin di klas satu SR (Sekolah Rakyat, sekarang Sekolah Dasar.)
Dan sejak itu saya bisa menulis huruf, bahkan akhirnya bergelut di bidang tulis menulis, menjadi pengarang, penyair dan novelis.
Pantas sekali orang itu H. Ahmad Ambari aku buatkan patung untuk kekaguman saya, andai saya seorang pemahat.
Tapi tidak sia-sia pak Amt Ambari mengajari saya. Beliau dibalas oleh Allah berlipat ganda, sebagai pengusaha sukses dan dengan sukses mengantarkan anak-anak kelingkar kehidupan yang terhormat.
Saya ini jelek-jelek berdarah biru, wali, setiap orang yang berbaik dengan saya, nasib akan mengankatnya tinggi-tinggi.
Begitu juga peran H. Khadhiri Mashuri, orang inilah yang pertama menarik saya kerja dikoperasi batik Pekajangan. Selama empatpuluh empat haun kerja saya dikoperasi, sampai beliau meninggal lebih dahulu. Kepada baik H. Ahmad Ambari maupun H. Khadhiri Masyhuri, ketika kedua beliau ini sakit keras, saya mengunjunginya, dengan air mata merembes pipi saya mendo’akan, agar ruh keduanyan dijadikan senandung pahala ratna mutu manikam disurga, mereka ahli jannah. Mereka tak pernah kulupakan sepanjang hayat dikandung badan.
Sebagian sajak-sajak saya berasal dari inspirasi kebajikan mereka, dan orang-orang lain yang menaruh hati bersih dengan saya.
Saya ingat, sewaktu saya keluar dari SMA negeri Pekalongan, Tahun 1960. Saya langsung disuruh menghadap didepan H. Khadhiri Mashuri.
- Nus, saya kepingin dibantu kamu.
- Maksud pak Khadhiri?
- Koperasi batik pekajangan tidak hanya butuh pekerja ulet dan mahir dalam perusahaan. Koperasi butuh anak muda yang idealis. Saya kepingin anganm-anganmu dirasakan oleh kita semua.
Kamu disana ndak usah-usah membantu menyusun statidtik. Keuangan dan lain-lain. Kamu jadi semacam juru bicara koperasi. Dengan demikian diruang koperasi ini, tercipta antara karya dan ilham. Kamu masih bebas menulis. Malah mesin ketik dikoperasi bangak. Kamu pakai untuk ngarang. Karena kamu memang pengarang. Tidak keberatan, kan Nus.
Saya pun mengangguk.
Mulai saat itu saya sering ketemu dengan beliau ini. Beliau adalah mula-mula toko-houder, kemudian dirumah administratur, dan dan kemudia diangkat jadi ketua pengurus koperasi batik.
Secara kebetulan pula pah Ahmad Ambari juga jadi salah seorang pengurus disana, dikoperasi batik itu.
Memimpin koperasi dan juga memimpin Muhammadiyah.
Pergaulan kami jadi semakin sering.
H. Khadhiri dan Ahmad Ambari adalah menantu-menantu H. Hambali, keturunan keluarga H. Kurdi.
Keduanya termasuk jenis pemimpin yang moderat, klasik dan sosialistis. Muhammadiyah maupun koperasi menjadi kegiatan dua sis tapi serasi, selaras dan saling membutuhkan.
Symbiose mutualistik.
Tak ada kepilikan yang sulit dipecahkan.
Dan kebetulan juga kondisi ekonomi dalam performance membaik.
Koperasi menjadi andalan pengusaha dan Muhammadiyah menjadi pusat kegiatan sosial yang saling tunjang menunjang.
Dalam kegiatan pengajian tengah bulanan kepimpinan cabang, sering kita bermuawajah, berdebat tapi dalam batas-batas keintiman sebuah keluarga besar.
Waktu itu hadir partai masyumi yang menjadi wadah waraga Muhammadiyah yang senang politik.
Tidak terhitung, juga, aktivitas untuk memajukan arah pendidikan yang lebih baik.
Keduanya adalah duet yang serasi, singkron sebagai pengayuh bidung sebuah masyarakat yang ingin maju.
Mungkin keduanya dilahirkan dengan astrologi bintang yang cerah, moderat dan suka mendengar. H. Khadhiri Masyuri lebih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi sementara H. ahmad Ambari pada kepedulian agama dan ekspresi kemuhammadiyahan.
Tukang bersih-bersih masjid Taqwa danjuga berperan sebagai mu’azin lima waktu bernama Ratman, panggilannya de Ratman.
Saat menjelang luhur, de Ratman buru2 menpersiapkan azan dhuhur.
Dicoba loudspeaker, ternyata ngadat.
Tidak bunyi, ngabek.
Waktu sudah saatnya mengumandangkan azan.
Kesal juga de Ratman. Sampai dia mengumpat : su….
E tenyata suara itu masuk mikropon.
Maka suara umpatan itu terdengar jelas.
Waktu itu saudah hadir jemaah dhuhur termasuk KH Abdur Rahman.
Bukan main kagetnya kyai Durahman dengan suara jelek itu.
Habis azan, de Ratman dipanggil kyai Durahmana.
- Mhan, mhan… kowe mau ngomong opo, ha.?
Kowe ora bener. Wis kowe metu bae. Ora pantes tukang azan mesjid iki dileboni suaro setan. Wis bar sholat, toto sandanganmu, mulih!!
Ketus dan jengkel kyai Durahman.
Disana ada juga H. Khadhiri Masyhuri dan yang lain.
Mendengar juga suara amarah kyai Durahman.
Gusar juga mereka, bagaimana itu bisa terjadi.
Tapi untuk mengeluarkan de Ratman, H. Khadhiri keberetan.
Itu khilap. De Ratman tetap kerja di Masjid Taqwa bukan sebagai muazin. Maka sehabis sholat jama’ah dhuhur, H. Khadhiri memerlukan menemui kyai Durahman.
Sowan kepada seseorang termasuk sesepuh yang paling dihormati.
Terjadilah tukar pikiran mengenai nasib de Ratman.
Mulanya, kyai Durahman menolak keras. Kalau de Ratman masih bekerja dilingkungan masjid Taqwa.
Harus secara drastis dikeluarkan.
Kesal betul kyai sepuh itu.
Tapi H. Khadhiri punya dalih yang ternyata lebih unggul.
Bahwa keburukan seseorang, apalagi terhitung tidak sengaja tiak mengotori bangunan suci seperti masjid dan rumah ibadah lain.
De Ratman ternyata khilap. Lebih jauh, dia bekerja dimasjid itu cukup lama, sejak masjid itu selesai dibangun, dengan upah yang minimal sekali. Apa jadinya kalau ia tidak bekerja lagi, yang jadi tempat bergantung keluarga. Dia berasal dari Comal, yang jauh dari Pekajangan. Dan kyai besar itu jadi kepenak, ketika h. Khadhiri menyodorkan pengganti muazin masjid Taqwa. Yakni Nuh Syamsuri.
Malah makhroj yabg jernihdengan liuk yang indah.
Nuh Syamsuri sudah direkomendasikan kepada Kyai Sukbi Alwi, menantu kyai durahman sendiri.
Akhirnya H. Abdur Rahman lilih juga.
Berkat lobby H. Khadhiri yang pintar.
Namun meskipun de Ratman masih bekerja mengurusi kebersihan masjid dan halaman, H. Dur Rahman tidak sekali mau menyapa atau mengajak ngomong. Beliau nampaknya masih terbawa sikap risau atas ucapan jelek de Ratman.
Siapa yang pantas menjengkeli ucapan tak senonoh di mikropon masjid Allah atau manusia?
Bukankah Allah maha Rahman dan Rakhim dan sangat pemaaf?
Dengan ditopang perusahaan tenun dan batik dirumahnya masing-masing duet kepimpinan Muhamadiyah antara H. Ahmad Ambari dan H. Khadhiri berlangsung cukup lama, dan syi’ar Muhammadiyah makin berkibar.
Tahun enam puluhan cikal bakal rumah sakit didirikan, yang mulanya hanya untuk pertolongan perempuan hamil dan melahirkan.
Bidan-bidan yang bertugas ditempat perumahan khusus bersama keluarga. Rumah bersalin itu memakai tanah waqaf H. Ahmad Ambari.
Dan sekarang te;ah meningkat sebagai rumah sakit umum dengan RSI.
Muhammadiyah memang organisasi Islam yang lebih mengkhususkan kpeada pelayanan umat, dan pelayanan publik umunya.
Organisasi ini tidak terpikat dengan watak perpolitikan tanah air.
Adalah tidak tepat kalau kemudian DR. Amien Rais menyeret Muhammadiyah ke arah politik dengan membangun partai politik (PAN) karena hanya ambisi yang menurut istilah Syafiie Ma’arif syhwat politik Amin Rais terlalu berat.
Lewat Muhammadiyah dia membelokkan cita-cita luhur kyai Dahlan ke lingkaran ambisi-ambisi pribadi.
Ini semua akibat pemimpin itu tidak memiliki rasa percaya diri.
Muhammadiyah jadi tunggangan dan dikurbankan dengan sia-sia.
Apalagi sekarang hadir Din Samsudin, yang takut kalah bersaing rivalnya, Amin Rais, mendirikan PMB.
PMB, partai matahari bangsa, menjadi sapi acuan untuk ambisi Din Samsudinuntuk meraih gelar presiden. Sesungguhnyan itu hanya mimpi buruk seorang megalomaniak saja.
Keistimewaan figur H Ahmad dan H. Khadhiri adalah suka silaturahmi ke bawah. Dimasa mudanya H. Ahmad Ambari suka main badminton dan bergaul dengan teman-teman, jika memutusakan sesuatu masalah, maka yang diuntungkan pihak lemah.
Begitu juga H. Khadhiri, yang penggemar nonton sepak bola ini, sering ikut terlibat dalam kegiatan sepakbola itu ‘in action’.
Dia acapkali ikut melawat bersama klub HW keluar daerah tanpa harus manunjukkan kalau beliau ini pengurus Muuhammadiyah.
Otomatis para pemuda yang ikut bermain merasa gairah.
Tidak jarang ia ikut mengurusi beaya, agar pihak peserta tidak kebanyak mengeluarkan dana.
Satu persoalan pernah terjadi. Orang yang memberikan waqaf tanah kepada Muhammadiyah setelah pemberi waqaf itu meninggal, pihak ahli waris menuntut kembali waqaf itu, padahal sudah diambil alih oleh organisasi.
Kebaanyakan pengurus menolak. Tapi H. Khadhiri mengabulkan.
Karena pihak ahli waris ternyata dalam kemiskinan.
Melwati perdebatan, H. Khadhiri tetap bersifat mengembalikan tanah itu.
Tanah waqaf Muhammadiyah masih cukup banyak. Dan organisasi ini sangat memperhatikan umat yang lemah dan menderita.
Organisasi Muhammadiyah bukan tuan tanah, yang dekil
Banyak kalangan orang tua yang miskin minta dibebaskan beaya pendidikan, dan itu selalu dikabulkanmenjadi tanpa beban beaya.
Kedua orang itu dikenal sebagai memiliki bungkahan jiwa kedermawanan, sehingga cepat populer.
Sampai akhir hayat mereka dikenang sosok-sosok yang baik.
Jumhan Cholil
DiPekajangan terdapat pionir-pionir muda tahun-tahun empat puluhan, saat kondisi Hindia Belanda dan dunia umumnya diluar krisis besar ekonomi.
Pionir itu diantanranya Jumhan Cholil ini.
Dia merintis suatu usaha yang sebenarnya kalau dilanjutkan merupakan jalan bersinar bagi warga Muhammadiyah.
Jumhan pernah bersama kawan-kawannya mencoba melakukan ekspor batik ke Singapura, waktu itu. Dekat perang dunia kedua meledak.
Disaat perekonomian Singapura sendiri setengah lumpuh, karena diblokade oleh Jepang.
Ternyata di kota singa itu batik Pekalongan sudah dikenal, dan disukai. Terutama peranakan melayu dan juga sebagian Cina.
Batik tulis yang sangat halus, milik Oey Shu Tjun, Kedungwuni sudah kondang di negeri pulau yang dulu dibangun oleh raja Singasari bernama Tumapel itu. Barangkali nama Singapura kemudian, adalah untuk mengingat kerajaan Singasari yang dimasa Kertanegara pernah sampai ekspansi kesana.
Jumhan punya kecerdasan diatas rata-rata. Putra H. Cholil yang banyak menimba ilmu dari autodikdak itu cepat mengenal eksport dan perdagangan antar pulau.
Malah ditahun limapuluhan akhir Jumhan membangun pabrik kaos secara perseorangan. Sementara koperasi batik Pekajangan sendiri telah lebih dulu membangun pabrik kaos (yang sekarang jadi kampus STIKES)
Guru spiritual H. Jumhan ada Mukri. H. Jumhan dekat dengan Mukri untuk menimba lebih jauh perspektif agama untuk kehidupan. H. Jumhan sendiri tamatan Mu’alimin Yogya.
Saking dekatnya dengan Mukri yang ditambah sebutan ADI, singkatan dari ‘asal Djatibarang Indramayu) itu, jodohpun dimintakan kepada Mukri selaku kyai. Diminta memilih satu diantara tiga calon. Tiga perawan cantik yang waktu itu menjadi nominasi Jumhan.
Masing-masing Nis’oni (yang kemudian melahirkan Romzi dan adik-adiknya) Anikhah Harun dan seorang lagi Zuhriyah, anak putri H. Syakur.
Mukripun melakukan istikharoh, Mukri menunjuk kepada Chairiyah sebagai pilihan. Jumhan kontan cocok, dan tidak lama mereka menikah.
Kedekatan H. Jumhan dan Mukri Adi ini sampai dengan keinginan agar besuk kalau meninggal makamnya dijejerkan dengan makam kyai Mukri.
Dan itu terbukti, malah makam H. Jumhan dan Hj. Chairiyah, istrinya, yang menyusul meninggal, jadi dapit oleh Mukri Adi dan Siti Aenah istri Mukri, ditengahnya makam Jumhan dan Hj. Chairiyah itu.
Suatu contoh persahabatan dan persaudaraan yang tulus.
Seni dan budaya di Pekajangan
Jauh sebelum perang-kemerdekaan, diPekajangan sering di-ampiri rombongan ronggeng dan sintren.
Ronggeng dengan primadona Jibleg, dari Cirebon sangat misuwur.
Jibleg yang merangkap jadi perempuan penghibur dan ngedani para hidung belang. Tidak sedikit orang-orang Pekajangan jatuh tersungkur menjilati tubuh Jibleg dan melupakan istri dan anak-anaknya.
Habis perang kemerdekaan muncul orkes-sandiwara pimpinan Carbi. Dengan nama ‘Garuda Putih’.
Sandiwara model model berpakaian modern dan campur tradisi, sangat populer, sering ditanggap oleh orang-orang untuk acara khitan atau pengantenan sampai pelosok jauh, diluar desa.
Carbi dalam memimpin yang mirip tonil ini sangat disiplin.
Dalam acara pembukaan ada aturan yang baku yang harus dilaksanakan. Wajib ditaati.
Diantaranya Semua pemain sandiwara harus melingkari sang pimpinan
Carbi itu yang duduk dikursi bak seorang raja.
Dan ada satu lagu dengan syair : misalnya, (berdendang dulu) kemudian diakhiri dengan kata-kata :…sandiwara ini pimpinan bapak Carbi!!
Telunjuk jemarinya harus menuding kearah Carbi.
Kalau lupa tidak menuding, bayarannya dipotong……
Nuh Syamsuri kemudian mendirikan orkes ‘cimpring’.
Orkes model ke Arab-araban ini juga menarik.
Dengan peralatan rebanan dan biola yang dimainkan oleh Nuh Saymsuru sambil merangkap sebagai vokalis.
Ketika Nuh syamsuri diangkat sebagai mu’azin masjdi Taqwa, menggantikan de Ratman, lama-lama ‘cimpring’ itu merosot dan bubar klampreng.
Vokal Nuh memang prima, vibrasinya segar dan melodi nya lantun, merdu.
Semua orang mengagumi azan Nuh Syamsuri.
Kecuali Ali yang berani mengkritik.
Disebuah warungnya Sean-Conil, Alijaran bilang sama Nuh yng kebetulan sama-sama diwarung, sarapan pagi.
Bilang Alijaran : Nuh, suaramu yo apik, mung ucapan Allahu Akbar kok krungune Allahu gedebak…..
Spontan Nuh membalas : - Wong kupingmu kuping jaran…..!
Alijaran ini mantan mu’azin masjid jamik. Tapi diapkirkan oleh kyai Sukbi Alwi. Gara-garanya masih jam sepuluh pagi mendadak azan lewat mirkropon di masjid jamik.
Orang-orang yang mendengarkan jadi penasaran. Ada apa ini Alijaran. Kok anek dan zemek…
Habis azan rampung, dipanggil kyai Sukbi.
Li, kowe kok azan wayah esuk ini ono opo ngelindur opo edan….?
Sahut Alijaran : Lho niki rak ajaran kyai piyambak. Terose nek gadah lare langsung diazani…….
- o dasar budeg, sing tak maksudke, cukup lirih ditempelke kupinge bayimu, bleg….
Wis kowe orang usah azan disik. Tak sekores…..
Tidak lama di Pekajangan muncul orkes-melayau (sekarang dangdut) pimpinan Usma Jaya dan Agustoyo, dua kakak beradik.
Orkes melayu itu sempa jadikan demam bagi penggemarnya.
Lebih-lebih dengan hadirnya biduan Faridah, asal kota Semarang.
Usman Jaya adalah gurunya orkes diPekalongan, dan fanatik hanya mau hidup dengan musik. Niscaya itu terbukti, ia meninggal dengan memegang klarinet pujaannya.
Namun yang paling fenomenal di Pekajangan haeirnya radio.
Dengan eksponen mudan dan berwawasan tinggi, Farid Akhwan, Romzi, dan Basuni, memproklamasikan studio radio dengan nama SUHADA (suara mahasiswa dan pemuda)
Didukung pula oleh Rokhin Syakur yang mempolerkan nama panggilan dengan ‘Legos’, kemudian Harsono Bakir dan yang lain.
DiPekajangan sehabis peristiwa pemberontakan PKI, terjadi kesenjangan suasana yang tak menentu.
Adanya penangkapan-penangkapan yang dicurigai sebagai indikasi PKI meraja lela.
Termasuk yang ditangkap H. Mkhali, oleh kalangan saudaranya sendiri.
Orang-orang pengecut itu memfitnah atas lelaki tua itu sebagai penasehat PKI. Dua tahun ditahan dan tanpa bukti apapun.
Hanya berdasar fitnah semata-mata. Kalau kita menyelidik, figur seperti H. Makhali ini memang unik. Dia seorang bergaya liberal, dan tidak mau tunduk kepada pikiran orang. Ia sellalu condong berfikir netral.
Ia tidak cocok dengan Muhammadiyah bukan kerna benci, tapi ajaran itu akhirnya menjadi fanatik, dan mau benar sendiri.
Orang yang kebetulan bersebrangan dianggap sudah murtad dan kafir.
H. Makhali tetap konsisten. Akhirnya ia difitnah PKI.
Setiap orang Pekajangan dan sekitarnya selalu menikmati radio Suhada.
Malah kedudukan RRi, jauh dibawa kepopuleran Suhada.
Bakat anak anak muda pekajangan sungguh mengagumkan.
Acara dikemas bersifat urakan tapi denga pembawaan vokal yang kenes, akrab menjadi radio itu sahabat semua orang.
Tidak cukup radio saja , eksponen muda itu bergerak.
Didirikan band dengan nama ‘Silumans’ dengan personil Farid Akhwan, Legos (Rokrin Syakur) Hawari dan Siswanto Harun,Sugeng AA, Nurhadi , begitu kompak dan mempesona. Mestinya mereka bergerak jauh keatas ke orbit permusikan nasional.
Tapi cita-cita mereka tak mau segede itu, cukup untuk menghibur kalangan muda di Pekalonngan.
Inilah kesederhanaan jiwa mereka.
Ini sebenarnya merupakan bentuk friction dari sikap prohibisionis orang tua, akibat juga kekerdilan dalam pengajaran agama.
Bakat itu menjadi tersandung karena jiwa terlanjur minderwardig.
Sayang. Dan pertunjukan atau show sebatas dilingkaran Pekajangan meskipun mutunya berstandar nasional. Malah Superiory-touch.
Kehadiran ‘Silumans’ pernah menarik perhatian masyarakat.
Ketika penulis ke Bandung waktu itu, dan mampir ke majalah ‘Aktuil’ untuk mengurus naskah yang masuk, penulis sempat bincang-bincang dengan Ben’s Leo, reporter ‘aktuil’ dibidang musik, dia sangat interesan bahwa didesa sudah ada band yang berkolaborasi dengan gaya roks.
Seukuran Koes Bersaudara atau yang lain.
Itu sebuah fenomen. Sayang, waktu ia penulis ajak ke Pekajangan dia banyak kesibukan.
Buah kenekadan itu, membenamkan pikiran lapuk para ulama’ kampung, dibidang politik pun membuahkan hasil.
Pada gilirannya Musa Dimayi bisa diangkat jadi anggauta DPR pusat.
Sebelumnya ia bercokol dikantor kelurahan sebagai kepala desa.
Ia tersaruk-saruk dan tak ada jalan lebih mendaki.
Di Pekajangan sampai saat itu belum ada tokoh organisasi yang mencuat kepusat (Jakarta). Cuap-cuap model Ibrahim Kadir memang banyak.
Ibrahim Kadir yang memerankan ‘autokrasi’ kemeng yang kadang tanpa alasan kuat membuang eksponen yang berbakat hanya krena faktor kebencian pribadi dimana dia punya watak seperti itu.
Musa Dimyati menjebol, jadilah ia anggauta dibadan terhormat, di lembaga tinggi negara dari organisasi Golkar.
Sehabis periode Musa, muncul Farid Akhwan, menyusul jadi anggauta DPR pusat setelah mendaki darianggauta DPRD kabupaten Pekangan, sebelumnya. Kalau kedua orang itu (Musa dan Farid) mengikuti pola berfikir Kyai Durahman atau kyai Sulchan Michrom masih terantuk-antuk sebagai fosil kalangan Muhammadiyah atau partai politik sejenis Masyumi.
Mana aada tokoh Masyumi dari kalangan kita. Kita dibatasi hanya sebagai pengagum.
Di Muhammadiyah sampai sekarang tak ada pintu kejurusan itu.
Orang-orang Amin Rais dan Din Syamsudin yang akan selalu menangkap kesempatan itu. Walaupun dibawah sudah berbaris orang berbakat dan berkemampuan sederjata.
Orang Pekajangan dari dulu, sebatas sebagai penonton dan bertepuk tangan.
Mengagumi orang lain jadi pemimpin. Mereka diundang diPekajangan dan ‘menggurui’ seenak wudelnya.
Kehadiran radio SUHADA dan musik model ‘Silumans’ sebagai embrio pendobrakan total, hendaknya jangan sampai terputus.
Estsfet itu sudah meraih bendera bergilir.
Sebenarnya tantangan sekrang jauh makinm komplke.
Seperti radio SUHADA sendiri sudah menjelma PT dan itupun harus bersaing keras. Ekspresi Muhammadiyah sedemikian luntur, hampir tanpa bekas. Idealisme sudah tak bercokol, semuanya harus profesional.
Apalagi kalau nanti mengejar perangkat TV dan environment yang menuntut ke tangga itu. Dan Pekajangan lebih berdegub, menjadi sarana metropolitan, seratus tahun laigi.
Bisakah Muhammadiyah tetap exist, melihat anak-anak muda sekarang sudah mulai berani meninggalkan syariat dan aqidah Islam.
Soliloverdi
Jika kita bangun subuh dan mendengar suara azan berkumandang. Bukan suara de Ratman, bukan pula Nuh Syamsyuri.
Keduanya sudah lama dijempu liang lahat sebagai penghuni makam.
Suara muazin yang meliuk-liuk dan melodi seperti percikan air dari mancuran, adalah orang-orang yang berasal dari generasi kini. Bukan suara azan itu yang mendesak desak hati.
Azan sekarang telah menjelma sejumput nostalgia.
Orang bukan tersedar dengan mendengan azan pengingat waktu sholat, buru-buru bersiap ke masjid Taqwa atau Jamik dikampung 19, Lihat!
Dibanding berapa jumlah penduduk desa ini, puluhan ribu dengan yang hadir di masjid, atau dimusholla-mushollah di kampung-kampung.
Tak ada lima persen. Hanya ratusan orang, itupun lebih banyak orang-orang manua dibanding anak-anak usia muda.
Orang-orang yang sudah mengingat bahwa maut akan segera menerpanya, menjambaknya dari ubun-ubun. Takut dan ngeri, lalu ikut jemaah.
Pekajangan yang ditahun lima puluhan dengan ritual lima waktu, bagaimana dari para lelaki dan perempuan bergerombol mendatangi masjid dan musholla dan itu pernah menyentuhkan ilham bagi sutradara film, ketika menyaksikan disebuah jalan raya Pekajangan, asyik dan khusyuk orang orang berangkat ke masjid dan kemudian pulang bersama pula. Ciri khas ini sudah terkelupas, makin surut.
Kita sudah melupakan Islam, dengan demikian kita juga mulai melupakan Muhammadiyah dan Nu?
Mungkin ya mungkin juga tidak.
Perubahan linear kehidupan yang evolusif itu jelas memang akan selamanya berlangsung. Seperti evolusi manusia dari picanthropus erectus dan menjadi homosapein, kemudian makhluk menuju peradapan dengan pekermbangan ilmu yang didapat, dimana Tuhan kemudian dijumpai dalam diri nabi-nabi.
Pekajangan, sebuah titik gurem dilembar peta karjagad tak bisa melepaskan juga dari proses alamiah itu.
Lantas kitapun bertanya, bagaimana dijaman akhir nanti proporsi manusia Pekajangan? Bagaimana dengan alirannya, Muhammadiyah dan NU? Bagaimana semua itumembentuk lukisan mural atau real coraknya? Apakah Muhammadiyah masih tetap mampu dan exist memberi jawaban?
Anak-anak kita tak pernah tahu apa rumus tentang sikap Muhammadiyah kecuali ‘jare-jare’ alias kata simbah dan buyut dulu. Yang empunya dongeng.
Lima atau enam ribu tahun lagi, siapa bisa menyusun secara hipotetik penghuni planet Pekajanganm, kalau dia masih mengorbit dijalan bintang garis edar langit?
Kita teringat Al-Mas’udi, penulis yang dikagumi oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya ‘Muruj adh dhahad (Padang rumput emas)
Jangan berhentilah berfikir dan mencari ilmu, jangan percaya kesimpulan seseorang, bahwa itu benar sndiri……
Musafir Maroko tempo dulu, Ibn Battuta tidak sempat mampir ke Jawa dan sampai di Pekajangan saat itu (th. M.1325), dan itu khayal kalau ada cerita semacam itu, tapi tokh Pekajangan tetap dikenal sampai Maroko. Kain batik tahun 1950 han pernah dieksport sampai Casablancha ibunegeri Maroko, negeri dipantai paling barat Afrika itu. Dalam buku ensiklopedi batik, diperpustakaan Leiden (Belanda) ditemukan gambar tentang batik Pekajangan dipakai oleh orang gypsi. Di Maroko. Benar juga kata Ibnu Khaldun dalam bukunya ketika dia mengatakan : Kita harus berani kembali pada sumber yang ada pada diri kita sendiri. Dengan fikiran jernih, jiwa terang, dan lurus, haruslah dapat membedakan antara mana yang mungkin dan mana yang tidak mungkin……
Jadi kita tidak usah meniru kehidupan di Mekah, misalnya, kalau waktu sholat tiba perlu harus diuber polisi-agama (keganjilan diabad modern, dan begitu menggelikan) dengan teriakan : ‘sholli, sholli! Maka pintu pintu rumah dan toko digebrak tutup rapat. Tapi di dalam rumah atau toko orang orang tetap bertelekan tiduran, main catur dan merokok. Tidak kemasjid dan ikut jamaah.
Ingatlah, kita bukan Arab. Kita mengikut Islam saja. Bukan peradaban Arab. Kita tidak membutuhkan polisi-agama, atau bedor-bedor yang sok Islami, menyeru untuk ikut dia ke masjid.
Ijtihad yang arti sebenarnya adalah tafsiran tentang Islam yang berbeda-beda jangan menjadikan Pekajangan seperti kampung Arab. Dengan baju dekilpun, kaki berdaki ikut lari berjema’ah, karena pahala buka 27 derajat, tapi sejuta derata taruhlah.
Muhammadiyah kalau boleh disenyawakan merupakan aliran yang sosiologis, jauh dari sifat ekstrim, apalagi anarkis.
Mungkin kalau saat itu, nabi Muhammad sudah mengenal pemikiran akademis, Islam akan lebih banyak menjurus kepada yang menjadi sandaran ulama-ulama betapa sangat vitalnya membangun citra sosial yang laras.
Sesepuh Pekajangan ketika menyerap Muhammadiyah masih mirip mengunyah lemper (semar mendem) yang saking enaknya, memuji-muji sambil menelanleg-leg. Setelah kekenyangan, dia bingung, benarkah itu makanan sehari hari kita, bukan lagi nasi?
Ahmad Dahlan juga kyai archaic, waktu dinegeri Arab ia terkagum kagum bagaimana menyaksikan sepak terjang kaun Wahabi, bagaimana Raja Bin Saud menirnakan mistik-misti disekitar masjid Baitul Haram. Padahal mistik yang diajarkan Al Ghazali, misalnya adalah buah kebudayaan, bukan dasar ajara, apalagi bila dibalik ajaran Islam yang mendasarkan sunnah Nabi. Padahal pula sunnat sendiri sekarang adalah sudah termasuk ortodoks.
Pekajangan bukanlah citra Islam Arabesque. Justru citra Islam Jawa. Sosiologi selalu mengajarkan pentingnya toleransi kearah semua sudut.
Penulis Cina Hsu Siauw Lin, sekitar abad Sembilan masehi dalam pengelanaannya di pulau Jewawud (Jawa sekarang) sangat mengenal kayau kajang sebagai bahan bangunan. Untuk kerangka tempat tinggal atau perahu-perahu pencalang - yang sering menempuh ombak di lautan dalam.
Itulah asal-muasal nama desa Pekajangan, dari kosa-kata “kajang”. Namun ada penafsiran lain tentang kajang: atau lebih komplitnya muasal Pekajangan itu, yang bisa jadi mulanya dari sebutan Pekajangan. Pekajangan diartikan, adalah hunian perembpua-perempuan nakal, seperti PSK istilah belakangan. Desa yang tertutup oleh hutan belantara, dijadikan perembunyian para bandit dan bromocorah saaat itu dan juga menyembunyikan para gundik-dundik mereka.
Transkip itu paling menguatkan karena ada gundik Cina yang dikenal sangat tersohor dengan panggilan Biaw Lin. Kemudian beralih nama Beling (rujak beling, sebuah cerita).
Pekajangan emang penuh aroma kegatalan orang-orang lelaki.
Judi, perjinahan, rampok dan garong adalah hal yang kesehari-harian. Smentara penduduk yang menghuni dusun itu makin berjubel, makin popular juga.
Melintas tahun dan abad, desa Pekajangan tak lepas menguntai dalam perubahan-perubahan pula.
Singkat kata kemudian muncullah Muhammadiyah.
Organisasi yang bercorak social-Islami ini terbit dari kota gudeg, Yogyakarta.
Sinar matahari sebagai lambang Muhammadiyah itu terlihat makin cerah, menyilaukan dan bergebar-gebar.
Muhammadiyah sebagai lairan yang berpangkal tolak pengaruh kuat kaum Wahabi di semenanjung Arab, dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan di Kampung Kauman Yogya, menjungkir-balikkan tentang ajaran Islam.
Islam yang semula berklembang dari pengaruh wali di Tanah jawa dan eklektik para sufi Timur Tengah abad lima belas masehi,terhumbalang dengan hadirnya ajaran Wahabi, lewat Muhamadiyah.
Pekajangan sebelum Muhammadiyah
Pentas imi hanya mengambil setting seputar akhir abad sembilan belas dan menengarai awal abad keduapuluh. (Dihitung Masehi)
Pekajangan sebagai puak, sangat jumbuh dengan “preman-preman” liar atau pun brandal-brandal dengan sindikat dan kelompok bergantung dari beberapa suku atau pemukiman dari luar Jawa.
Lebih-lebih kondisi kolonialisme Belanda yang mulai kedodoran mengendalikan rakyat pribumi, ekonomi dunia yang merosot tajam, dan mulai pula tercium benih-benih pergerakan nasionalisme meskipun masih bersifat embriotik, situasi puak pekajangan pun ikut hanyut kemana arus itu bermuara.
Di tahun-tahun seribu delapan ratus empat puluhan, semenjak perang Diponegoro (1925-1930), anehnya para deserter perangpun tidak sedikit yang menyudup ke dusun Pekajangan.
Pekajangan pada waktu itu masih berbentuk “penatus” (tiga empat desa dengan kepala seorang penatus), dengan dijabat oleh Ki Mardan, seorang pedega yang ditakuti, oleh karena pendekar yang disegani karena kekejamannya.
Ki Mardan ini lah yang pada rentetan keturunannya, adalah penulis risalah ini, kalau dirunut sekarang.
Kemudian masuklah Ki Kambal (Gombol), mungkin nama sebenarnya Hambali yang menurut cerita dari mulut kemulut dan sebagian cerita imajinasi, Gombol ini seorng deserter dengan sejumlah pengikutnya. Termasuk didalam Ki Sutojoyo, guru ngaji dan silat.
Tapi setelah ditelusuri lebih cermat, Ki Gombol ini ternyata bukan penakwan pangeran Diponegoro, justru beliu ini ulama Persi (Iran sekarang) yang mengembara ke Jawa menyebarkan Islam.
Ki Gombol alias Hambali ini seorang ulama dari aliran Mu’tazilah sangat mendominasi ajaran di Iran,
Dalam peninggalan Ki Gombol alias Hambali, ditemukan buku-buku syair-syair Saadi, Farid Attar dan Jalaludin Ar- Rumi. Dalam wejangannya ia selalu berkata kitab-kitab semacam itu bertentangan dengan ajaran Muhammad yang memusatkan Al Kur’an dan Hadist. Pemikir-pemikir Mu’tazilah dari bani Abbasiyah, sangat dominant menjadi pelajaran wajib santrinya.
Pada gilirannya, menjelang akhir abad kedua puluh, tokoh desa Haji Makhali sangat getol menyimak pikiran-pikiran itu. Sehingga kerna salah paham, dikiranya H. Makhali adalah murtad.
Berkecamuknya aliran dan mulai saling bersebrangan, tumbuh pula perekonomian pribumi yang karena pengaruh revolusi industri Barat saat itu Pekajangan juga mulai dijamah benih-benih usaha mandiri.
Rawa-rawa yang dulu subur oleh tumbuhan bakau atau kajang, dikeringkan dan mulai ditanami kapas, hasil dari bawaan Tan Siaw Jin, musafir Cina Yun’ An yang sempat membawa benih kapas.
Pekajangan tidak seberapa luas .Paling sekitar duapuluh hektar.Cuma tanahnya yang bekas rawa itu cukup subur.
Benuh yang semula dari Tan Siauw Jin itu akhirnya menghasilkan kapas yang mutunya tidak jelak. (Yan Siauw Jin ini ketika meninggal, jasadnya dikebumikan dekat dengan gang 23 sekarang.
Sementara Biaw Lin dikebumikan di dekat gang enam, yang dikenal dengan Rujak Beling.
Tumbuhlahj di Pekajangan industri rumah dengan sistem sederhana, manual dan primitip. Bentuk produk ini berupa kain stagen, kain untuk kebaya perempuan, dan celana kapar untuk lelaki.
Tidak sampai duadasa warsa perkembangan industri stagen bergerak cepat.
Produk itu mendapatkan pasar yang ideal dan sangat laku keras di Solo, Yogya dan Semarang. Dari tiga kota itu menyebar sampai Surabaya, Bali, Lombok. Kain-kain motif stagen yang ada di Lombok, itu barangkali berasal dari Pekajangan dalam embrionalnya.
Salah satu pengusaha dan sekaligus pedagang saat itu, adalah Hajah Musrfifah. Perempuan itu anak putri pengusaha gede juga, yakni H. Ilyas, menantu Ki Mardan dan keturunan Ki Gombol.
Dalam sepak terjangnya, Hj. Musrifah memperbesar usahanya.
Dia seorang perempuan yang cukup briliyan otaknya, mungkin dia mengidap deja_vu. Dengan bersuamikan H. Masduki, yang bertugas mengolah usaha di rumah, sebagai jontrot. membawa hasil produksinya ke Solo, Yogya atau Semarang.
(Pada tulisan selanjutnya, kisah tentang deja-vu Musrifah ini akan terkuak lebih lebih lebar dan realistik sebagai bibit pengusaha pribumi yang terpandang saat itu. Dalam judul yang lain, peran Hj. Musrifah dan Muhammadiyah akan terungkap secara kongkrit.
(kongkrit dan lugas)
gejala inudtrialisasi ini sangat berpengaruh dengan prilaku-perilaku yang (semula) sulit diatasi.
Diantaranya perilaku negatif, suka merampok, mencuri, berjudi, minum dan main curang, perlahan-lahan seolah kurve-nya menurun.
Dengan sedikit-sedikit uang hasil dunia hitam itu, mulai dimanfaatkan untuk ikut-ikut menerimbung membuka usaha hame industri.
Dalam waktu tidak lama makin berdeguplah Pekajangan dengan pola industri tekstil primitip.Tidak jarang para pejabat Belanda menyempatkan melongok berkunjung ke Pekajangan karena prestasinya yang luar biasa itu.Dengan tumbuh mekarnya industry tenunan dekst, tumbuhlak kebutuhan spiritual. Agama Islam mulailah berkokok.
Pengajian nunutut ilmu agama tersebar dimana-mana. Surau-surau didirikan meskipun bentuknya masih setengah permanen. Tempat-tempat jorok, sepoerti pelacuran mulai menyingkir kepelosok.Judi adu ayam pun makin berkurang.
Yang tidak mampu mendirikan usaha, mereka mau jadi buruh dengan upah yang memadahi.Lampu pet yang saat itu sudah mulai dipasang oleh colonial Belanda, merambah juga ke Pekajangan.
Listrik belum masuk ke desa .
Baru mendekati tahun 1920an, Perusahaan Belanda yang dikenal bernama ANIEM (algemeine Nederland Indische elektrik matchapij).
Listrik masuk rumah-rumah yang mampu membayar, juga bagian pinggir jalan besar desa. Sebagian jalan besar yang paling banyak monopoli jalan raya tetap, dokar berkuda dan sepeda buntut. Rumah-rumah penduduk pun tak banyak yang dibangun dengan batu-bata. Masih banyak rumah-rumah mereka berdinding bamboo dan beratap welit. Kehadiran industry manual mendatangkan juga kebutuhan pendidikan tentang ketrampilan. Bagaimana cara terbaik dalam membuat kelir-kelir (colour) yang meriah.
Hj. Musrifah, sebagai kondang mengirim pemuda bernama Hsayim ke Bandung kursus ketrampilan/ kelir. Hj. Musrifah membiayai segala sesuatunya.
Kehidupan dunia usaha sebagaimana awal tulisan ini tentu saja berdampak pada segi-segi kehidupan lain.
Penduduk Pekajangan yang sebagian besar dari keturunan diaspora para pendatang, diantaranya Cina, Persi, Arab Keling, dan pribumi asli memang merupakan faktor menguntungkan. Sehingga keturunan mereka memiliki kecerdasan yang lumayan.
Bahkan keturunan asli penduduk pribumi yang tak melakukan asimilasi dengan para pendatang, nyaris terpuruk sebagai kelompok minoritas yang ketinggalan dalam segala hal.
Pekajangan, hamper sebagian besar nyaris keturunan Cina dan Keling. Sebagian besar berdarah Arab Hadrami.Sebenarnya percampuran antara ras dan suku itu tidak terbatas di puak Pekajangan saja. Tentu saja melebar kelain-lain desa.
Malah wonopringgo, lima kilometer dari Pekajangan, yang disana bercokol sebuah pebrik gula milik Belanda, banyak terjadi percampuran antara orang bule dan perempuan pribumi.Asimilasi itu berlangsung sangat lama.
Maka tak heran yang disebut penduduk pribumi asli di daerah ini sudah tak murni lagi. Benarkah sampean Jawa asli ? Buktikan. Sulit sudah.
Begitu juga asimilasi dengan Cina Wanatenglang, perantauan, juga tak bisa dibantah kenyataannya.
Betul juga sebutan Indonesia. Indo bagi semua suku dan pribumi.
Pengertian asli kependudukan sungguh pekerjaan pikiran dan fanatisme yang tolol.
Volk-school atau sejenis sekolah dasar bagi pribumi didirikan oleh pemerintahan Belanda. Tahun seputar 1910 yang beralokasi anatar Pekajangan dan Bligo.
Sekolah itu namun cepat bubar. Muridnya sedikit. Orang-orang tua mereka sangat ketakutan mengirim anak-anaknya ke sekolah kaum penjajah.
Mendingan masuk pesantren. Pengetahuan agama lebih penting, tinimbang penegtahuan Latin.
Hj. Musriofah sendiri korban fanatisme beku kalangan orang-orang tua.
Tanpa mengenal huruf latiun dan angka hirung-hitunga, Hj. Musrifah mampu mengendalika usahanya saat itu, dan sekaligus menjdai manajer yang piawi. Sungguh luar biasa. Andaikata beliau masuk sekolah, tidak mustahil beliau jauh diatas R.A Kartini, pahlawati tersohor dengan hanya dengan menulis buku “Habis gelap terbitlah teranbg”, hanya berupa hasil surat-surat pribadi yang dikompilasi oleh nyonya bulai Abendanon. Hj. Musrifah pantas menjdai ikon bahkan nasional, tak hanya untuk Pekajangan.
Mestinya ini menjdai solusi untuk sebuah “awards” bagi kalangan pengusaha di bidang industri. Khusunya di Pekalongan.
(pada bagian lain, akan kita kuakkan lebih ajuh tentang Hj. Musrifah ini. Beliau meninggal dalam usia lanjut, 80an lebih)
HIS, Indische Hollands School akhirnya dipindah ke selatan Pekajangan.
Saat itu kalangan orang-orang Muhammadiyah berupaya mendirikan sekolah, dengan sebutan sekolah rakyat (SR) yang lokasinya lebih strategis, ditengah-tengah pemukiman kaum pengusaha, dan bercorak agama.
Guru-guru seperti Saleh Dasran, Abdul rauf dan Mukijab sangat kental dengan perkembangan pendidikan anak-anak Pekajangan.
Baiklah tulisan ini belum sepenuhnya menjurus kesana.
Pekajangan sebelum hadir Muhammadiyah sudah sangat mengenal Islam.
Pengertian aliran Muhammadiyah sendiri sampai sekarang tetap masih terbatas, dengan pola politik.
Muhammadiyah sebagaimana orang mengenal sebgai buah karya KH. Ahmad Dahlan, dari kauman Yogya, adalah pengejawantahan kaum Wahabi.
Dalam tafsir Syeh Rida’ dalam judul Almanar, melebihi uraian tentang sikap pentingnya Islam tidak berliku. Tonggak pemikiran Almanar adalah ratio. Islam dengan gumpal ratio, bukan mistik. Orang muslim cukup memakai standar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan hadist-hadist sokhehnya.
Namun kalau kita menyimak lebih intens, abnyak sekali dalam tafsirnya Sayid Rida yang masih kontroversial dengan akalnya.
Misalnya orang meninggal, cukup dengan saritauladan yang baik, dido’akan alakadarnya, sudah selesai. Tidak perlu ritual lain, kecuali disholatkan dan dikubr baik-baik. Tahlil dan ritual lain tidak perlu. Itu irrational.
Seakan-akan orang yang sudah mati itu sudah tidak ada hubungan atau jadilah ia debu kembali ke asalnya semula.
Paham lain, karena Islam juga percaya barang ghaib, orang matipun kecuali jasad, masih juga mendapatkan kelanjutan hidup di dunia lain.
Nah, untuk selulu bisa terus melakukan kontak spiritual, niscaya dibutuhkan juga pengiriman doa-doa dan ritual lain, tahlil itulah, agar si almarhum senantiasa terjaga dalam iman. Tidak dibuang begitu saja, seperti kupu-kupu penyap di bumi.
Almanar tidak konsentrasi banyak dengan logika. Malah lebih banyak berbau politis. Karena periode itu kebangkitan kolonialisasi merebak.
Daratan Eropa, dan sebagian Negara-negara Timur Tengah asap dupa nasionalisme mulai tercium pedas. Gerakan Wahabi, juga tak lepas dari terpaan itu.
Sikap politis dan nasionalismenya sangat sarat puatan.
Gerakan itu tidak sepenuhnya memurnikan ajaran Islam. Tapi lebih miring kepada kekuasaan. Karena ajaran Rasulullah yang bertumpu pada sikap moral bukan artikan perang.
Muhammad selalu mendasarkan bahwa Islam adalah ajaran moral, dalam artian sudah tentu moral yang universal, lintas suku dan politik, ideologis. Rasulullah selalu bersiap toleran, suka memaafkan, meskipun orang itu masih suka mengerjain sirik.
Salah satu dalil kuat yang ditampilkan nabi adalah fragment Ibrahim dan bapaknya yang ahli menciptakan berhala. Ibrahim dilarang oleh Tuhan untuk melawan adhar, bapak kandungnya, yang tetap menyembah berhala. Apalagi sirik ringan.
Oleh karena itu, sejak berdirinya Muhammadiyah sampai sekarang, penyebaran Muhammadiyah tertatih-tatih, hanya menarik perhatian di kalangan inteelktual dan kaum feodal.
Abdul Wahab hanya menginginkan perbutan kekuasaan raja Abdul Aziz dan pindah ke tangan aristokrat Ibnu Saud.
Bukan memusat perubahan perilaku akidahnya.
Ajaran murni Islam hanya dijadikan kuda tunggangan kearah kekuatan politik.
Tafsir Sayid Rida jauh berlainan dari Tafsir Abdur Rahma Al- Maraghi.
Didalam tafsir Al- Maraghi sedikit sekali konteks Politik.
Kisah-kisah tentang Fir’aun dan yang sejenis tak mendapatkan porsi banyak. Sebagaimana niat Rasul Muhammad sebagai utusan, lebih mengelu pas perihal moral dan kearifan.
Makanya diawal-awal Muhammadiyah masuk di Pekajangan, tidak harmonis kyai-kyai yang jebolan jamsaren (Solo) seperti Mukri, tidak merasa singkron dengan ajaran Muhammad yang maunya ditelan mentah-mentah.
Dalam sholat Subuh, sebaiknya do'a kunut tetap dipakai.
Mukri tak selaras jika dihilangkan. Karena do'a itu meskipun dari penyertaan niat Umar, sebagai sahabat jenius.
Kalau eloquence Umar sendiri dibiarkan nabi, kenapa para pengikut nabi yang awam berani menghilangkan semena-mena.
Banyak hal yang kontroversial atas kehadiran Muhammadiyah di Pekajangan yang sampai saat ini, tidak mampu keluar sebagai ekslon di desa-desa lain. Orang-orang diluar Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah itu nganeh-aneh. Muhammadiyah sejak tahun duapuluhan, tak pernah secara significans keluar dari sarangnya.
Ajaran itu hampir-hampir tak pernah mampu diformalisasikan sebagai gerakan tajdid sebaga kemauan pendirinya.
Apalagi dengan hadirnya generasi yang sekarang, yang memilih hidup yang hedonis, pola ke Barat-baratan, dengan “dugem” sebagai berhalanya.
Dengan “hugel” alias hubungan gelap sebagai trend masa kini, orientasi ke arah Islam yang mabuk pembaharuan nyaris lepas rem.
Tak terdengar kembali peran tarjih atau kyai yang radikal suka mengharam-haramkan apa saja yang tidak disuka.
Di Pekajangan sebelum hadir Muhammadiyah, hingar dengan dekadensi itu memang banyak betulnya. Di desa itu dulu merebak tontonan ronggeng, sinetron dan budaya eksploitasi seks. Secara dikemas dalam warna komersial.
Banyak anak-anak muda berduit, menggandrungi primadona ronggeng, dengan menggendak, mengajak tudur, meninggalkan anak istri.
Sebagaimana permulaan tulisan ini, Pekajangan, bisa diartikan dari Pekijangan, yakni disnonimkan dengan kijang adalah perempuan penjajah sahwat. Disinilah dulu markasnnya.
Jadi kalau sekarang muncul istilah hugel, dimana banyak terjadi perserongan dikalangan lelaki/ suami dan istri orang lain, bisa telusuribahwa demoralisasi ujungnya belum sepenuhnya pupus.
Perselingkuhan dewasa inio bukan disebabkan krisi iman atau tak mencintai lagi agama sebagai panutan. Gejala itu memang sudah menudia, dan bumi ini sejak dulu berlangsung apa yang disebut tabiata alami manusia.
Jika Pekajangan juga anggautan drai planet bumi ini, apakah tidak halal kalau naluri seperti masuk masuk kesini juga. Pekajangan bukan surga kesucian.
Masyarakat yang senang realistis.
Lihat nafsu Poligami, tak pernah kendor, penyaluran yang nampak ekstrim.
Lucunya, sebagian orang manajiskan tontonan ronggeng, sintren, dan memuji “Babalu”, sandiwara yang Islami, tanpa menyimak apa yang terjadi dibelkang layar sandiwara itu.
Terbitnya Matahari di Pekajangan
(Kisah-kisah awal kehadiran gerakan Muhammadiyah)
Disini dibicarakan lebih lanjut tentang ikon Pekajangan, perempuan yang memiliki deja-vu yang secara tak terduga sebagai simbol sosok mengagumkan.
Hajjah Musrifah.
Perempuan ini putri dari pasangan H. Ilyas dan Hj. Maryam.
Diurut-urut masih dekat dengan keturunan Ki Mardan, sipenatus, dan Ki Gombol yang sebagian mengatakan desersi prajurit Diponegoro sebagian riwayat mengatakan asal dari Persi (yang sekarang Iran).
Sebagaimana dipendahuluan catatan ini, abahwa Pekajangan memang dikenal sebagai puak tumpukan eksodus. Suku-suku bangsa.
Jadi tidak heran, Ki Mardan dan Ki Gombol (kembali) leluhur dari eksodeus negeri lain.
Kehadiran Hj. Musrifah setelah menikah dengan masduki, itukah corak industrialisasi desa kecil itu mekar menyemburat.
H. Ilyas adalah juragan batik dan tekstil juga sebelumnya.
Namun sejak Hj. Musrifah berperan, ada warna yang lain di desa itu kemudian. Tenaga kerja dibelakang rumah Hj. Musrifah yang dinamakan pranggok menampung duaratus orang, dengan masing-masing tugasnya.
Hj. Musrifah yang memegang kendali itu.Bukan Masduki, suaminya.
Masduki yang anak sulung H. Abdul Syukur bergaya aristokrat dan tidak cerdas. Oleh karena itu karena kecerdasan yang luar biasa istrinya itu dengan suka rela menerimanya.
Dan Hj. Musrifah memang pas.
Sedikit resume, kecerdasan kaum perempuan hasil silang antara keturunan memng mengisyaratkan bahwa karakter perempuan meninggalkan kemampuan rata-rata kaum prianya.
Diantara sossok Hj. Musrifah tentu ada juga perempuan yang mengendalikan perusahaannya, dan itu berkelanjutan sampai sekarang.
Di Pekajangan, para lelakinya boleh dibilang gerombolan pemalas yang imajiner. Suka makan enak, dan foya-foya. Sok.
Lelaki semacam itu cenderung pemboros. Dan kalau nempel sedikit keistimewaan, ia ia cepat-cepat mencari selera ekstra, apakah itu serong atau diam-diam kawin lagi.
Hj. Musrifah sangat cerdik, sebagaimana suaminya yang tak mampu mengurus perusahaan yang sudah tingkat menengah itu.
Serta merta ia menyiapkan bahan, merengkrut tenaga kerja, dan jauh lebih penting, memasarkan hasil produksi yang melimpah itu.
Hj. Musrifah membawa barang produksi sendiri ke Solo dan sekali waktu ke Yogya.
Saat itu ia mengangkut produksi batik dan palekat dengan kereta api/ dari Pekajangan menuju stasiunkereta api diangkut dengan dokar. Sepuluh dokar rata-rata saat berangkat dan semuanya penuh dengan muatan batik dan palekat. Ada pembantu tenaga kasar yang mengurus di kereta. Begitu secara rutin berlangsung bertahun-tahun. Pun pulangnya membawa juga barang, kain moridan benang tenun.
Nah, lebih hebat lagi, disamping ia menawarkan hasil produksinya yang sudah tersohor dan dijamin laku habis, ia masih menyempatkan mengunjungi kegiatan rokhani, pengajian dimana ia menginap.
Di Solo ia selalu menginap di Laweyan. Dan di Yogya ia di komplek Kauman.
Di Kauman Yogya inilah ia mendengar tentang adanya perkumpulan baru tentang aliran.
Setiap ia pergi berdagang, ia menyimak tentang hal baru itu. Dia merasa interesan.
Kemudian setiap pulang ia menceritakan hal itu kepada keluarga.
Orangpun makin lama makin tertarik obrolan Hj. Musrifah itu.
Bukan tentang dagangannya, tapi tentang pengajian yang didapat.
Lebih-lebih setelah anak sulungnya, Dimyati (yang masa kecilnya bernama Sumadi), dikirim ke pesantren di Solo, di Mamba'ul Ulum. Kemudian adiknya Makhali. Kemudian Nurmah, anak putrinya dikirim ke Yogya dan sekolah dikalangan anak-anak kraton, dengan kost di internat. Orang-orang Pekajangan makin mengagumi cara cerdas Hj. Musrifah.
Salah satu hal yang kiranya menguras perhatian. Manusia Dimyati ini. Sebenarnya dia anak lelaki gendilo. Tidak suka menuntut ilmu.
Di kalangan teman-temannya ia brengkoak karena suka hidup minum dan main. Teman temannya sebagian besar para kentoha, menghabiskan waktu dengan brekotal dan seenaknya. Kok bersedia dikirim ke Solo.
Saking senangnya, Hj. Musrifah sebagai orang tua yang bijak meluluskan apa sarat permintaa Dimyati dituruti.
Salah satu permintaan yang nyentrik adalah setiap keberangkatan ke tempat belajar ia menyewa kereta milik bangsawan di Solo komplit tukang sais.
Sehingga setiap tiba di pusat belajar itu. Orang-orang mengira kalau Dimyati keturunan aristokrat juga.
Dengan seringkali Hj. Musrifah mengunjungi pengajian, di desa ia akhirnya jadi pusat pertanyaan. Lebih-lebih peranan Dimyuati selepas mondok di Solo bersama adiknya Makhali, tanda-tanda kearah realitas berdirinya organisasi itu semakin dekat.
Pada suatu hari bersama dengan H. Abdur Rahman, tokoh terpandang, H. Jalil dengan dikawal tokoh-tokoh muda, Dimyati, Makhali, H. A. Aziz, mereka menuju Yogya. Disana mereka mencoba mencari kabar tentang yang didengar dari Hj. Musrifah sebelumnya.
Ternyata benar, bahwa serikat Muhammadiyah telah berdiri.
Tapi Pemerintahan kolonial masih membatasi dengan karantina sepuluh tahun.
Pekajangan harus menunggu selama sepuluh tahun jika mau mendirikan cabang dri perserikatan itu.
Sekalipun perserikatan Muhammadiyah belum resmi terwujud tapi embrio mulai disebar luaskan.
Makhali yang ahli tafsir mantiq mangajarkan Islam yang sesuai dengan syi'ar Rasulullah. Tidak banyak menyimpang.
Pengajian-pengajian mulai digalakkan, saben minggu.
H. Abdur Rahman mendirikan musholla di depan rumahnya untuk kegiatan itu.
Namun sejauh itu intensitas kegiatan untuk menyongsong hadirnya sebuah persarikatan modern dan sebagai jawaban perubahan jaman kekinian, kondisi Pekajangan berupah drastis? Tidak.
Jiwa oportunisme yang melekat sebagai puak keturunan bersilang tetap secara tersamar maupun terang-terangan berjalan beriringan berjalan. Kondisi ugal-ugalan di kalangan generasi muda, dengan kemaksyiatan terus saja berlangsung.
Pengikut terhadap Islam tak sepenuhnya terserap dalam sanubari, meskipun secara teori selalu ingin mengalahkan aposteori berkepul Dimyati dan konco-konconya nyaris tak berubah meskipuin dikirim sebagai alumni Mamba'ul Ulum yang tersohor itu.
Tapi Hj. Musrifah tetap berusaha. Niatnya untuk mengangkat derajat anak-anak untuk sebagai orang terpandang di bidangnya hampir tak jemu-jemu.
Hj. Musrifah mengirim sekolah yang masih tergolong kerabat dekat, yakni Mukri. Mukri ini putra dari H. abdul Kahar, masih paman dari Masduki, dan karena terlibat dagang tembakau orang ini beserta keluarganya akhirnya bermukim di Jatibarang. Kota Duwet masih terhitung keturunan jauh dari raja Pakubuwono dari Mataram.
Nyai Duwet tinggak di Warungasem Duwet.
Salah satu paman Nyai Duwet itu bernama Ki Sujono.
Ki Sujono adalah seorang raden yang terlibat dalam perang Diponegoro.
Ketika phak pangeran berjubah itu kalah, Raden Sujono menyingkir ke timur. Menetaplah dia di wilayah perdikan gunung Kawi.
Ketika meninggal, jasadnya juga dimakamkan disisi tempat tinggalnya.
Hingga sekarang makam (embah) Sujono itu menjdai pengujan orang-orang mencari kesugihan. Penjaga makam itu adalah keturunannya, termasuk keturunan nyai Duwet, istri H. Abdul Kahar itu.
Mukri dikirim olwh Hj. Musrifah ke pesantren Jamsaren, Solo.
Kemudian pria ini dinikahkan dengan salah seorang anak perempuan Hj. Musrifah, Siti Aenah dan bertempat tinggal di Pekajangan sampai akhir hayatnya.
Tujuan Hj. Memondokkan mukri tidak lepas pula dengan niat untuk ikut cawe-cawe dengan kegiatan Muhammadiyah nantinya.
Tapi setamat Jamsaren, Mukri tidak singkron dengan Muhammadiyah.
Beliau lebih dekat dengan fikiran-fikiran Abdur Rahman Al-Maraghi, penafsir ulung tepian sungai Nil.
Tafsir Al- Maraghi lebih jelas dengan ekhidupan muslim dimasa datang.
Tak lekang ditimpa panas tak lapuk di timpa hujan. Makin dipukul gelombang makin tegar.
Ikhwanul Muslimin, organisasi radikal yang hidup di Mesir, mereka sangat laras dengan tafsir Al Maraghi.
Islam tidak pernah mengajarkan nasionalisme kerdil, apalgi autokrat.
Pandangan penafsir (Abdur Rahman Al Maraghi) bahwa Muhammad adalah seorang Nabi paling universal tak lagi bersifat lokal.
Suku Qurais yang menjadi latar belakang kehidupan Rasulullah adalah ilustrasi bagaimana sebuah bangunan iman menjadi buah cipta hati yang elegant, jujur dan bersahaja.
Sedang Muhammadiyah sangat feodal. Bahkan cenderung menjilat dengan kekuasaaan yang didepannya.
Islam tidak terbatas pada akidah individual, tapi juga makin menyeruak sebagai akidah universal (kaffah).
Mukri sebagai kyai lebih suka memilih sikap mengambil jarak dengan Muhammadiyah maupun radikal.
Dimasa hidupnya, ia banyak dikunjungi para kyai atau pemikir-pemikir Islam. Beliau sebagai nara sumber yang mumpuni.
Kyai Abdur Rahma, Kyai Sulchan Michrom, Kyai Sukbi Alwi, dan para guru maupun kyai diluar lingkaran perserikatan itu acapkali sowan kesana .
Kenetralan ini beliau pertahankan sampai akhir hayat.
Fenomena H. Dimyati
sebagai anak lelaki sulung (barep) ia memang tergolong manja.
Kemanjaan itu menyubu pada perilaku ekstrim, bahkan ugal-ugalan. Ia sangat ditakuti oleh adik-adiknya, bahkan sebagian pamannya.
Tingkah laku hidupnya sangat bertolak belakang dengan yang lain.
Sering berbuat onar, sering menekan keluarga untuk memenuhi keinginannya. Dan Hj. Musrifah sebagai emaknya, ternyata banyak mengalah, akhirnya malah tak berdaya menghadapi putra barepnya yang selalu menciptakan keluarga resah.
Tapi ada sesuatu yang sebenarnya dimiliki orang ini. Ia sangat peduli dengan orang lain, terutama konco-konconya mbedugal.
Ia tak sampai hati membiarkan sebagai teman menderita sementara dirinya berkecukupan. Ia mengambil harta orang tuanya, dan itu dibagi-bagikan semua koleganya tanpa kecuali.
Ia ingin selalu menampakkan dirinya sebagai Robinhood, tokoh dongeng kerajaan Inggris yang termashur itu.
Peristiwa ini pernah terjadi, disuatu malam, disebuah warung di pinggir dusun. Dalam keremangan malam, salah seorang pengunjung warung kehilangan uang bendongan ketika dipungut dari undelansarungnya. Tentu saja uang receh itu menggelinding tanpa diketahui kemana. Semua pengunjung warung ribut saling ingin menolong.
Dimyati tahu bahwa uang sebesar bendongan cukup untuk membayar minuman dan makanan. Masih besar aji-nya, nilainya.
Serta merta Dimyati merogoh kantongcelana kaparnya, dan mengambil selembar uang puluhan yang cukup untuk mentraktir sepulur orang.
Tidak uash ribut-ribut. Ini uang untuk membayar semua yang disini. Sudah, tenang saja.....
semua pengunjung warung saling melongo dan terheran-heran.
Dan itu tidak sekali. Sering pula ia memberi uang untuk pemilik warung, untuk berjualan terus. Jika diketahui warung itu merugi. Dan peristiwa yang paling sulit dilupakan adalah aketika Dimyati mengikuti pemilihan kepala desa, lurah Pekajangan.
Calon kades saat itu dengan mengacungkan telunjuk jari langsung.
Seorang asisten wedana yang memimpin jalannya pemilihan lujrah di Pekajangan. Berlangsung disebuah pendopo darurat.
Dan yang membikin pendopo itu uang Dimyatri. Betapa okak-okaknya.
Pada waktunya acara dimulai. Asisten mengatakan : Siapa yang pilih Dimyati? Ngacung!
Ternyata dihitung asisten, cuma sepuluh orang. Yang hadir itu.
Dan ketika asisten mangatakan: Siapa yang memilih raden Askar?
Hampir lima ratusan lebih. Dengan demikian raden Askar menang mutlak.
Bukan main gusarnya Dimyati.
Selesai pemilihan kepala desa yang dimenangkan Askar,bukan main kecewanya, Dimyati.
Ia pulang menggebrak pintu.
Dia berseru kepada emaknya, Hj. Musrifah.
Matanya memerah seperti habis minum tuak.
Emak, kowe pingi aku minggat, ora?
Ora, Dim, ora. Ojo minggat, ono opo, lup?
Nek, aku ora sido minggat, endi emas-emasmu, kabeh kanggo aku.
Kowe kalah dadi lurah, yo?
Ora, mak. Aku kudu dadi lurah, saiki.
Lho, kan Asar sing dadi. Dim.
Ora perduli. Masak kantong iki weh ke kanggo bojone ndoro asisten. Wes mene, mal.
Tanpa berdaya, Hj. Musrifah gagal mencegah karepan anak yang kentoha itu. Melesatnya Dimyati ketempat tinggal Asisten Wedana di Kedungwuni.
Kebetulan sekali bendoro sten masih jagongan dengan bininya di pendopo Kawedanan.
Munculnya Dimyati, mengagetkan mereka.
Ono pop kowe Dim. Kowe kan wis dikalahke raden Askar.
Dimyati tanpa ngomong lama langsung mengeluarkan isi kantung kecil.
Tumpahlah isi kantong, perhiasan dari emas, milik kekayaan Hj. Musrifah.
Menyaksikan “keajaiban” itu istri ndoro seten membelalakkan matanya terheran-heran, sambil ngejuwis.
Maksudmu opo Dim?
Dimyati bilang:
Ini semua saya hadiahkan kepada penjenengan, ndoro. Kalau saya jadi kepala desa Pekajangan.
Lho? Asisten mendelik. Jadi, Askar dibatalkan?
Asisten semula menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi istrinya segera gipyak-gipyak, membenarkan maksud Dimyati.
Mas, asisten, mas, sudah to. Ndak apa-apa. Batalkan Askar. Ganti dengan Dimyati. Mosok lurah Pekajangan kok Askar. Miskin begitu. Selama hidup saya, belum pernah memiliki perhiasan sebanyak ini. Dim, kamu bilang benar, ini untuk saya, kalau kamu bisa jadi lurah Pekajangan? Sungguh?
Dimyati mengangguk.
Nanti saya tambah dengan yang lain. Biar sebagai istri ndoro siten tidak hidup melarat. Ndoro.
Heeh, heeh, bener Dim, kowe pancen cah pinter. Sudh, mas, Perintah asisten tanpa bisa membantah.
Asisten tanpa bisa membantah.
Dipanggillah askar menghadap.
Singkat cerita. Begitu Askar menghadap bendoro asisten, serta merta Asisten itu memukul Askar, sehingga Askar sempoyongan jatuh.
Menggertak Asisten.
Askar, kamu kepingin hidup atau mati, ha? Ketua Asisten.
Mukanya pura-pura memerah, marah.
Sambil menyembah-nyembah, Askar ketakutan.
Kulo kepingin dipun gesangi, ndoro. Saya pilih. Hidup, ndoro..... (suaranya menggigil tersendat-sendat).
Nah, kalo kamu kepingin hidup, serahkan jabatan lurah kepada Dimyati. Ini lebih pantas dari kamu, kan?
Kamu cukup jadi ulu-ulu. Sambil uro-uro.....
Dengan merunduk Askar bilang:
inggih, ndoro, inggih. Kulo iklas....
Akhirnya serah terima terjadi saat itu juga.
Istri asisten cengar-cengir, kegirangan.
Tidak lama di Pekajangan diumumkan adanya pergantian jabatan lurah.
Kudeta keci-kecilan dan tanpa mengucurkan darah terjadi saat itu.
Masyarakat Pekajangan saat itu terjadi pergunjingan.
Tapi lama-lama menyurut juga.
Sebenarnya memang Dimyati bisa menang dalam pemilihan itu.
Tapi orang yang bernama Syarif, masih famili Dimyati juga, dan dia seorang berandal gede di Pekalongan. Kehidupannya diwarnai dunia hitam, orang paling ditakuti, malang melintang melakukan semaunya. Dia tidak senang Dimyati sebagai lurah. Karena dia khawatir dunia aktivitasnya akan terganggu. Ia merasa pekewuh kehadiran saudaranya, masih cucunya sendiri jadi kepala desa.
Dia bisa tersendat dalam menguasai tingkah polahnya.
Maka jauh sebelum pemilihan kepala desa, Syarif menyogok ratusan orang Pekajangan untuk tidak memilih Dimyati. Pilih Askar. Yang lemah. Terbukti Askar yang menang. Lurah sebelum Askar, Amat, sangat tunduk kepada Syarif.
Askar yang bergelar raden, adalah keturunan raden Sutojoyo, pelarian prajurit Diponegoro mengikuti rombongan Ki Gombol.
Sutojoyo adalah guru ngaji, dan pengawal setia Gombol.
Tapi Askar yang sangat santun dan selalu memelihara sifat unggah-ungguh, tidak pas untuk jabatan lurah. Ia sebenarnya menolak untuk dicalonkan. Tapi Syarif menekan dengan keras. Ia pun mau.
Lelaki yang selalu mengenakan pakaian priyayi ini, tanpa lupa mencengkelang keris di punggungnya, pintar uro-uro, tembang Jawa.
Istrinya mbok Yuni selalu membuat jamu yang dikenal.
Hidup mereka miskin, dengan rumah beratap welit dan dinding bambu.
Ia memang pantas kalau jadi ulu-ulu desa. Kerjanya cuma mengawasi tersier, air untuk mbanyoni sawah.
Dimyati diangkat sebgai kepala desa, dengan pengorbanan emaknya, Hj. Musrifah yang sangat spektakuler. Perusahaannya luluh lantak.
Simpanan emas yang sebetulnya untuk tabungan bilamana produksi menurun ludes. Tidak itu saja, perhiasan yang dipakai anak gadisnya, di bronjoti dan untuk menyambung hidup perusahaan juga tak berhasil.
Tahun duapuluh enam saat itu memang situasi dunia mengalami krisis, krisis finasial, sebagaimana dijamin periode George Bush, Presiden Amerika yang ke 43.
di Jerman saat itu nilai satu dollar US, menjadi setengah milyar DM. (Deutch Mark, mata uang Jerman). Sehingga kalau untuk membayar gajih pegawai seluruh Jerman, kadang dalam membawa uang kertas DM itu memakai gerbong-gerbong kereta api.
Untuk menikmati secangkir kopi di sebuah kafe, orang harus membawa koper berisi uang kertas DM. Satu cangkir kopi hangat senilai sepuluh juta DM.
Hindia Belanda, khususnya Jawa hampir melanda kemiskinan yang berat. Penyakit hongoroedem meraja lela.
Tapi ini sungguh merupakan fenomena tersendiri.
Dibawah kepala Desa Dimyati, desa itu anehnya terhindar dari penyakit H.O.(busung lapar).
Inilah kebijakasanaan yang ditempuh Dimyati sebagai lurah.
Begitu dia diangakat sebagai kepala desa,semua penduduk Pekajangan, yang saat itu jumlahnya sekitar seribu.
Dalam orasinya, dia berujar :
pemerinath Belanda meminta saya untuk mengirimkan orang-orang yang menganggur untuk dikirim keperkebunan-perkebunan baik diluar Jawa maupun di Suriname, jauh diujung benua lain.
Tapi hari siapa yang masih bekerja, tidak diwajibkan.
Ingat pengangguran memang sumber kemiskinan.
Ucapan Dimyati ini sangat mengena. Siapa orangnya secara suka rela mau jadi rodi seperti jaman Deandeles tempo dulu. Ngeri sekali.
Imbasnya, orang-orang memulai menciptakan kegiatan, bekerja seadanya.
Jadi buruh tenun, buruh ngantih benang, berdagang daun pisang, membajak sawah, menaanm ketela, ubi kayu dan menanam apa saja yang menghasilkan.
Dalam tempo tidak lama, penghasilan rakyat mulai dirasakan.
Tenun stagen jadi andalan. Begitu juga kerajinan batik.
Mulai terangkat adanya kelas pengusaha. Bersamaan dengan itu perusahaan Hj. Musrifah meluntur. Beliau sudah tua tidak selincah dulu.
Kekayaan terkikis, dan berapa anaknya mulai menggalang usaha, menggantikan orang tuanya.
Hj. Marli'ah, sebagai istri H. Dimyati, tidak dibolehkan mewndireikan uasha sebagaimna orang lain.
Sebagai istri kepala desa harus ikut kepedulian besar akan nasib penduduk Pekajangan.
Susah ikut meraskan, kalau rakyat senang, jangan nerimbung.
Hj. Marli'ah, sebagai putri sulung H. Isma'il sungguh memahami apa yang dikehendaki H. Dimyati.
Padahal keluarga H. Isma'il adalah keluarga sukses sebagai pengusaha.
Rumahpun berdinding bambu. Hidup tidak perlu mewah, mewah itulah Dimyati.
Lelaki yang semula babral krowa, Dimyati tumbuh sebagai seorang pemimpin puak yang penuh karisma.
Kemanapun terlindungi. Inilah salah satu cara bagaimana Pekajangan tidak disusupi pencuri atau garong.
Untungnya Syarif yang mulai menua, tak lagi banyak melakukan hal negatif disamping itu ternyata Syarif ini terlibat sebagai pengusaha juga.
Jadi setiap ada orang melapor akalau rumahnya kemasukan pencuri dan membawa kabur betamal entah kain mori, batik atau benang, lurah Dimyati selalu bilang, tidak usah khawatir. Kamu tungg, kalau perlu menginap di rumah saya, nanti pamong saya perintahkan mengendus siapa pencuri itu.
Seorang pelapor yang disuruh sampai menginap segala, tentu keberatan sebab dirumah banyak kesibukan. Akhirnya pelapor itu lebih suka memilih akan mencoba mencari sendiri siapa pencuri itu, dan ngacir pulang.
Dan acara itu mengakibatkan orang yang kecurian, mengatasi sendiri keamanan dirumahnya masing-masing.
Asisten wedana yang berkuasa di kawedanan merasa salut pikiran jernih lurah Dimyati.
Popularitas Dimyati memegang sebagai kepala Desa sempat diabadikan dlam buku ensiklopdia pemerintahan Belanda, sebagai fenomena jenis kepimpinan.
Suatu harri , guvernor Jendfral Belanda berkunjung ke Pekajangan.
Guvernor Jendral itu bernama Van Tjandra.
Dia ingin menyaksikan usaha kerajinan batik di Pekajangan.
Sebagaimana pernah pula ia kunjungi di Yogyakarta dan Pekalongan.
Tidak seperti sambutan di Yogya maupun di kota Pekalongan sendiri yang dikalangan pejabat maupun orang-orang pengusaha, cara amenghadapai guvernor bule itu dengan merunduk-runduk. Bahkan di Yogya dengan menyembah.
Di Pekajangan tak seorang pun berlaku ngapurancang, runduk.
Orang mengajak bersamaan dengan guvernor itu dengan jabatan tangan biasa dan setengah sendau gurau.
Ha, tuan guvernor, warum meneer, warum meneer......
Van Tjandra kaget, campur kagumdan gali.
Barbarkah orang-orang itu. Tapi kalau diajak bicara, pintar menguraikan, seluk beluk batik dan proses penciptaan, secara cerdas.
Van Tjandra bertanya kepada Dimyati, disini kenapa Liberal kebudayaannya seperti negeri Kincir angin itu.
Lurah Dimyati menerangkan asal muasal budaya itu.
Pekajangan bukan dihuni oleh pribumi-pribumi asli dalam arti lugu.
Disini penduduk sudah campuran, asimilasi dari beberapa jenias bangsa. Keling, Arab, Cina, Portugisdan Belanda sendiri.
Kita sudah nasionalis sebelum ada jor nasionalime Bung Karno dan Bung Hatta. Jangan heran, tuan.
Van Tjandra manggut-manggut, terkagum.
Perkenalan governor Van Tjandra dengan Dimyati sukar dilupakan.
lebih-lebih setelah tahu istri Dimyati ada lima. Dan seorang adalah keturunan Belanda, anak putri Don Songet, berdarah Indo Belanda Belgi, Don Songet adalah arsitek pengairan ang pernah menciptakan jembatan lengkung di Surobayan. Perkawinan itu sayangnya tidak membuahkan keturunan. Kalau dengan peranakan Cina, di Kertasemaya, Cirebon, ada melahirkan anak, namun, sampai sekarang tak seorangpun keluarga Dimyati melacaknya.
Sewaktu Dimyati nyatri Buntek, Kuningan dia menjalin asmara dengan perempuan bernama Sonah. Dia peranakan Cina ikan asin.
Pemimpin yang karismatik dan kontroversial itu menjadi cerita legenda sendiri.
Awal masuknya Muhammadiyah di Pekajangan
Dan dibawah kepimpinan K.H. Abdur Rahman
Tahun 1920
Setelah mengalami masa karantina politik kekuasaan kolonial Belanda, persarikatan Muhammadiyah mulai keluar dari sarangnya, Yogyakarta Hadiningrat.
K.H. Ahmad Dahlan mengirim utusan ke Pekajangan.
Ki Projokusumo. Orang masih berdarah biru, sesepuh Kauman.
Beberapa orang Pekajangan yang terpandang diundang dalam pertemuan itu. Dimyati, Makhali, Abdul Aziz, Mashuri, H. Jalil, dan beberapa putra H. Abdur Rahman sendiri, yang jadi aktifis, Abdur Rakhim. (Abdur Rakhim meninggal dalam usia muda dan belum sempat menikah)
Maka dimaklumatkan berdirinya organisasi persarikatan Muhammadiyah.
Yang dipilih menjadi pemimpin waktu itu, pengurus, sebenarnya Dimyati.
Semula Dimyati bersedia sebagai hoodfbestuur. Tapi konco-konconya menyarankan untuk menolak, (waktu itu Dimyati belum magang lurah desa)
Dimyati menolak, dengan alasan belum patut jadi hoodfbestuur. Kemudian dilimpahkan kepada adiknya, Makhali, tidak setuju juga. Justru Dimyati merasakan kalau adiknya itu jadi ketua organisasi, Makhali yang alumni Mamba’il Ulum, Solo, sama dengan pesantren yang dimasuki Dimyati, memberi alasan kepada K.H. Abdur Rahkam, bahwa Makhali sangat dekat Kyai Dasuki, kyai merah yang dekat dengan Sama’un. Makhali ekstrim, dan kekiri-kirian. Dia sangat mengandalkan tafsir Al Maraghi. Bedanya dengan Mukri yang juga mahir dalam tafsir Al Maraghi, Mukri condong kepada Al Afghani, pemikir dari lembah Kirghistan.
Bersifat hijau pekat. Bersebrangan dengan Makhali.
Wasana kata maka ditunjuklak K.H. Abdur Rahman sendiri sebagai orang pertama Muhammadiyah.
Kiprah pertama KH Abdur Rahman membenahi pendidikan.
Didepan rumahnya dibangun sekolah agama ‘Al Wusqo’, mengajarkan ilmu taukhid dan pelajaran bahasa Arab. Banyak murid berdatangan dari sekitar, malah dari Pekalongan-kota dan Batang.
Benar juga dugaan Dimyati. Makhali sejak tidak diterima sebagai penguruh Muhammadiyah, dia kasak kusuk dan bergerak dibidang politik.
Kasak kusuk ini membuah realita, diundangnya tokoh besar seperti Sukarno, sang proklamator kemudian itu) Lewat komunikasi dengan Romolawi sebagai tokoh marhaen Pekalongan.
Sukarno berpidato di sekolahan Al Wusqo iti.
Gegerlah Pekajangan. Polisi Belanda memanggil orang orang dibelakang kedatangan Sukarno. Termasuk Dimyati sendiri
Waktu itu delijk hukum bisa didakwakan ebagai perbuatan makar.
Sebab Sukarno dianggapnya melawan Belanda.
Sejak itu Kh. Abdur Rahma melarang move politik dan membatasi Makhali sebagai aktivis Muhammadiyah.
Buah kepimpinan periode awal Muhammadiyah bergerak cepat.
Untuk mengatasi kebutuhan ilmu untuk anak-anak, maka didirikan HIS Muhammadiyah, otomatis menyaingi sekolah-sekolah yang dibangun oleh kolonial Belanda. Pertama His atau setingkat sekolah dasar enam tahun dibangun ditengah pedesaan. (sekarang ditempati oleh STIKES)
milik Muhammadiyah juga.
Juga diadakan sekolah taman kanak-kanak atau mirip Frobel, yang didikelola Aisyiyah. Mar’ Yahya, Mutri’ah Zakaria, diantaranya yang sempat mengajar disana.
Kepimpinan KH. Abdur Rahman cukup lama, sebelum beliau digantikan putranya Abdur Rakhim.
Tak banyak catetan masuk dari corak kepimpinan putra KH. Abdur Rahman itu.
H. Wasil Dimyati.
Pemuda tamatan HIK Bandung ini bergelora atas prakarsa dunia pendidikan. Tahun 46 sehabis Jepang tekuk lutut, beliau bersama sahabat sahabat kentalnya mendirikan SMP (sekolah menengah pertama) Lokasi darurat menempati rumah-toko milik H. Abdal.
H. Wasil, adalah idealis yang berkibar. Tak orang yang bersemangat seukuran dia.
Meledak-ledak dipacunya orang-orang Muhammadiyah dan sekitar dari kebodohan dan sifat rendah diri (meinder wardig hetcomplex) Akibat penjajahan yang lama.
Mendirikan sekolah disaat kondisi negara semrawut adalah jiwa pionir
Waktu itu, Jepang kalah perang dan Belanda menginginkan kembali tanah air ini.
H. Wasil mengelola Smp sambil ikut berjuang membela negara.
Dia langsung terjun sendiri meminta dana masyarakat dan uangnya untuk membeayai sekolah yang dipimpinnya itu. Dia dibantu sepenuh hati oleh rekan-rekan dekatnya.
Karena semangat dan ketulusan tanpa pamrih.
Smp makin berkembang. Sambil Muhammadiyah membangun Masjid dengan nama At Taqwa, disebelahnya dibangun pula SMP.
Tidak lagi darurat.
Tidak lama kemudian, tahun lima puluhan lebih sedikit, dibangun pula SMA Muhammadiyah yang berlokasi dikota Pekalongan.
H. Wasil tak hanya berkiprah dilembaga pendidikan, Untuk mengisi kegiatan anak-anak muda, ia dirikan sepakbola Hizbul Wathon.
Dan sekaligus menyiapkan lapangan tempat bermain.
PS HW sempat menjadi idola kalangan sepak bola maniak.
Dari gelanggang olahraga ini muncul Chaerul Akhwan yang pernah bermain disebuah klub terhormat di Jakarta, sampai bertanding di Malaisia. Ps angkiasa. Belum pemain-pemain lain.
Ditahun sebelum perang, H. Wasil mendirikan jazz-band sebuah kelompok musik modernsaat itu dengan pemain, ada Rusdi Syakur yang memetik gitar, ada Zen Pentil yang meniup klarinet, dan H. Wasil sendiri yang memainkan piano.
Sayang pertumbuhan jazz band itu tidak lama, karena KH. Abdur Rahman tidak menyetujui, dianggap musik haram. Permainan Syaitan.
Tapi sikap prohibisionis orang tua itu dianggap positip oleh Wasil putra H. Dimyati itu, dengan menjalin cinta kasih dengan anak gadisnya, Siti Fatimah.
KH. Abdur Rahman lebih murka lagi.
Tapi cinta yang bersemi oleh kedua insan itu tak bisa dibendung. Akhirnya KH. Abdur Rahman mengalah. Mengizinkan mereka menikah.
Sejak Pekajangan dibuka lembaga pendidikan, dan menghasilkan orang-orang terpelajar, berkat pikiran Wasil ini sungguh luar biasa.
Ribuan orang pernah dibuka akal fikirannya dengan memberikan ilmu
Dan ini memang seharus lembaga Muhammadiyah dalam dunia pendidikan memberikan semacam award kepada Wasil. Meskipun itu bertempeeamen kethus.
Agaknya kata-kata Sukarno bahwa bangsa yang menghargai pahlawannya adalah bangsa besar.
Masyarakat Muhammadiyah Pekajangan belum sejauh itu, dan tetap kerdil.
Dalam pengertian kaidah umum.
Kepimpinan dibawah HM. Jazuli.
Orang ini pernah menjadi juru mudi Muhammadiyah dalam periode yang cukup panjang. Pada periode dia, Muhammadiyah menapakkan kaki mencari sumber pendanaan untuk seolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah
Salah satunya adalah lewat Koperasi Batik Pekajangan.
Koperasi batik Pekajangan yang didirikan tahun 1937, setelah pernah raib, muncul hilang, muncul hilang. Oleh trio H. Afdol Jalil, H. Dimyati, H. Khadiri Mashuri dan H. Ridwan, mencapai masa jayanya ketika juga dipegang oleh HM. Jazuli.
Licensi istimewa mulai mengalir dari kebijakan pemerintah.
Pekajangan berubah menjadi masyarakat borjuis, tidak lagi nkrengges, alias miskin.
Setelah Belanda beserta militernya hengkang dari Pekajangan tahun 1949/1950, perenana koperasi batik mulai mencuat.
Dimana-mana orang berusaha untuk mencipta home industri.
Tenun manual dan batik setenagh seni mulai digagas, membuahkan hasil
Gagasan itu membuahkan pula berimbas pada pola kehidupan yang lain.
Gaya hidup borjuis, dan sifat feodal kembali terangkat.
Persaudaraan pun berubah. Kaya dekat kaya, miskin tetap terlunta-lunta.
Hali itulah yang menyebabkan di Pekajangan muncul PKI (partai komunis Indonesia, dengan pemimpin mereka mayoritas adalah buruh ngecap dan kuli keceh. Meskipun partai tidak menonjol dan kurang potensial, ini akibat kelengahan Muhammadiyah yang suka memilih orang berharta.
Kalangan tidak mampu dikecohkan. Lihat saja waktu itu. Warung saja berbeda versi. Versi orang-orang berduit, para OKB, memilih warung sendiri. Warung kalangan pembeli miskin memilih sendiri juga.
Dua partai kiri, waktu itu, PNI Marhaenis, dan PKI telah dianggapnya najis dan haram untuk didekati.
Mereka banyak kehilangan pekerjaan.
Periode HM. Jazuli ini banyak menampilkan kecenderungan sikap tidak senang orang-orang benasib jelek.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah pun tumbuh bibit-bibit nepotisme untuk keluarga kaya.
Bangkitnya Koperasi Batik Pekajangan
Koperasi Batik Pekajangan didirikan pada pertengahan tahu 1937,oleh beberapa eksponen kaum muda yang peduli akan nasib kaum pribumi. Dari lobi-lobi yang dilakukan oleh Kadir Bakri, H. Afdol, H. Halim lurah Dimyati dengan Joyohadikusumo, ayah dari profesor Sumitro dari Purwokerto, terbit gagasan pentingnya mendirikan koperasi dikalangan pribumi khususnya, dan kalangan ekonomi lemah.
Joyohadikusumo menyarankan pengusaha batik perlu diajak berkoperasi.
Dari gagasan gagasan intens itu realitapun lahir.
Tapi prospek perekonomian kolonial masih suram saat itu, akibat keterpurukan ekonomi dunia, dan kekuatan Jerman dibawah Hitler, Italia dibawah diktator Musolini, dan Jepang dibawah jendral Tojo yang chauvistik, mempengaruhi kondisi ekonomi menjadi miring kearah keguncangan.
Koperasi batik juga tidak tahan atas guncangan itu.
Saat itu belum ada sistem perlindungan ekonomi untuk orang pribumi.
Sistem monopoli dan bau kapitalisme masih menyengat tajam.
Koperasi yang masih berkutat dengan pola distribusi barang dan P&D, pembagian province and dunken, jatuh bangun, tersendat.
Baru setelah lepas tahun limapuluhan, koperasi batik Pekajangan kelihatan survive.
Bahkan tahun empat sembilan, kemudian, banyak didirikan koperasi seragam yakni batik. Dikota Pekalongan sendiri didirikan oleh A. Junaid dan kawan-kawan, PPIP, diSolo dengan Batari, di Yogya, Mataram, Cirebon, Tasikmalaya, dan Jakarta sendiri.
Bahkan mereka melakukan penggabungan, yakni GKBI (gabungan koperasi Batik Indonesia) sampai sekarang masih berlangsung, meskipun GKBI tidak seideal seperti dulu, melayani pada konsumen dan anggauta, tapi telah berobah menjadi semacam holding company, saat ini dibawah sindikita Noorbasyah Junaid.
Dari keuntungan koperasi batik Pekajangan memang mampu membiayai roda Muhammadiyah, juga berperan penting dalam mendongkrak faktor kemiskinan. Banyak dibangun rumah-rumah mentereng, pranggok yang hidup dan senantiasa berkepul.
H. Khadhiri Mashuri yang memegang kemudian koperasi sebagai toko houder, berhasil mengelola jalannya koperasi. Disanalah seorang pengusaha batik dan tenun bisa membeli peralatan dan bahan untuk produksi batik dan palekat.
Apalagi setelah muncul co.partner, koperasi tenun (Proteksi) yang berada didesa Bligo, sebelah Pekajangan, degup perekonomian kian kinclong mencorong.
Itu berjalan sekitar antara tahun 50 han sampai tujupuluhan, setelah itu peran koperasi nampak menjadi suram dan menyakitkan.
Indonesia yang tidak pernah dalam menstimulasi ekonomi modern, karena kecerdasan yang terbatas, selalu memergoki suasanua buram ditengah gemuruh persaingan global.
Batalion ‘Tikus Gurun’ masuk Pekajangan
1948-1949
Hari belum siang benar, ketiga iring-iringan truk besar penuh pasukan secara bergelombang berhenti didepan masjid At Taqwa, masjid kebanggaan masyarakat Muhammadiyah Pekajangan.
Pasukan berseragam loreng dengan mencangkingsenjata masing-masingberperawakan tinggi besar, sebagian, itu orang-orang Gurkha aslinya dari Nepal, diUtara India sana. Mereka banyak yang mengenakan surban dipelanya, maka mudah, sebagian lagi memang orang bule, jangkung dan berkulit putih. Pasukan dari negeri oranye (Belanda)
Yang brewokan dan bersurban itu adalah tentara bayaran, sebuah legiun asing milik Inggris yang disewaa Belanda. Atau mereka atas nama sekutu.
Mereka turun serempak dan sedikit ribut.
Berbaris rapih dengan sebagian besar memakai topi helm hijau.
Suara suara komando terdengan, disahut satu per satu. Ternyata absen.
Tidak lama kemudian mereka. Mereka menyebar. Ada sejumlah tentara bule itu masuk kekampung saya. Dan belakangan aku mengenal akrab mereka.
Pekajangan telah dihuni tentara sekutu atau lebih tepatnya tentara Beladan untuk berusaha kembali menduduki tanah tercinta ini.
Banyak tempat-tempat, rumah-rumah penduduk Pekajngan diambil alih oleh tentara pendudukan itu.
Ada tiga puluh rumah, semuanya yang bagus-bagus, milik orang kaya Pekajangan, ada yang dijadikan tempat menginap, ada juga untuk dapur umum, tak ketinggalan rumah untuk dijadikan tempat ibadah. Tentu dibuat seperti gereja perananya. Pada hari Ahad pagi, mulai terngar acara katholik. dengan khutbah berbahasa Belanda dalam sembahyangan.
Saya mengenal figur-figur dari personil tentara itu. Diantaranya sersan Willy. Kopral Adam. Dan mayor besar Thermohuisen.
Tenyata di Pekajangan bercokoltentara berpangkat, bukan asal prajurit.
Mereka saben harinya mereka jarang melakukan aktivitas rutin, seperti latihan tempur, kadang-kadang saja sebagian pergi beberapa hati dan kemudia kembali ke Pekajangan. Ada bisik-bisik, mereka dikirim ke front diarah selatan, atau mereka Cuma melatih prajurit ditangsi besar dikota.
Tetapi dibalik kehadiran tentra sekutu dan penjajah itu, ada kisah sebelum pasukan bule itu masuk.
Pihak gerilya kita, pimpinan Isma’il Hasan Idris, merencanakan penghadang, agar manuver batalion ‘Tikus Gurun’ itu menghandapi perlawanan dari pejuang-penjuang tanah air.
Gambar tikus berwarna hitam disetiap ransel yang dibawanya, Juga cap dikaos shirt yang dipakai, memang itulah pasukan Tikus Gurun milik Inggrisyang ditakuti dan disegani Jepang sebagai musuh saat itu.
Rencana penghadanganitu rupanya terdengar oleh h. Dimyati, yang selama perang kemerdekaan sosok ini meletakkan jabatan kepala desanya. Dengan alasan tidak sudi jagi lurah belanda. Lurah begundal.
Kemudian diserah terimakan kepada Saleh, yang dipilih oleh penguasa penjajah. Saleh ini kemudian dibunuh oleh gerilyawan yang menyusup. Dianggap penghianat negara.
Saleh ditembak sehabis cukur rambut ditukang cukur Su’in Bangkalan. Ketika ia keluar dari kios cukur dan menyebrang jalan menuju gang 9 Pekangan dua orang menyergapnya, langsung tultis. Senjata menyalak. Menggelepar lurah Saleh.
H. Dimyati serentak mendengar rencaana isma’il, yang juga besan kedua orang itu, ditemuinya Isma’il hasan Idris, yang guru ngaji. Dialogpun terjadi, Keduanya Pejuang, tapi punya taktik berbeda.
H. Dimyati tidak sependapat dengan rencana penyergapan itu.
Belanda bisa kehilangan beberapa prajuritnya , karena dijebak.
Tapi pembalasan Belanda jauh lebih seru dan mengerikan.
Belanda tidak hanya membalas, tapi akan membalas lebih keras.
Bisa-bisa selurug rumah dipekajangan ini dibumihganguskan.
Orang-orang sipil diseret dan dibunuh karena dianggap melindungi gerilyawan. Bahkan anak-anak kecil termakan peluru nyasar.
Terbunuhnya personil tentara musuh tidak seimbang dengan kurban yang dibayarkan.
Ada saran dari H. Dimyati, sebaiknyapara pejuang dan gerilyawan melukan pancingan-pancingandidaerah kosong dipinggir hutan yang tak berpenghuni. Hitung-hitung menguji kepintaran perang.
Karena rasa hormat kepada H. Dimyati, ustaz Isma’il Hasan Idris membatalkan rencana spekulatip itu. Dan Pekajangan jadi aman.
Sampai tentara Belanda itu dengan pasukan ‘Tikus Gurun’ itu ditarik kearah Yogya untuk membantu pasukan mereka bertempur disana.
Tulisan besar-besar dan berbunyai ‘naar to Yogya menghiasi truk-truk pengangkut pasukan.
Hanya empat bulan Pekajangan ditinggal tentara sekutu.
Ada juga manfaat yang ditinggalkan tentara musuh itu.
Permainan pingpong menjadi kegiatan anak-anak Pekajangan, juga sepak bola. Memang ternyata dua cabang olah raga itu sejak lama menjadi prestasi negeri kincir angin itu. Sampai sekarang Belanda selalu mendapatkan nominasi atas dua cabang olah raga itu didunia.
Seorang kyai yang kuno tapi karismatik
Sosok K.H. Sulchan Michrom
Kyai ini ssungguh sangat bersahaja. Rumahnya kecil, tidak bercat meskipun bersih dan dilabur putih pada dinding-dindingnya.
Ia memang memilih hidup sebagai seorang zuhud, dan menjauhi kemewahan. Beliau ini seakan-akan nyaris mengikuti alam tasawuh dan berlaku sufi.
Namun buah pikirannya lama berpengaruhatas kehidupan para santri Muhammadiyaj.
Dan selalu jadi lukisan keteladanan, dan banyak dikutip kata-katanya sebagai acuan hidup.
Orangnya semampai, selalu memakai sarung dan kemeja berlengan panjang atau baju ‘koko!
Menurud Farid Akhwan, ketua pengurus Muhammadiyah daerah Pekalongan, perawakan dan parah Kyai Sulchan Michrom ini mirip Ishak syamir, tokoh besar Israel, pusat kebencian orang-orang Arab.
Tapi lain kya Sulchan lain Ishaka tentunya. Kyai Sulchan sangat konsisten dengan Islam, dan Ishak syamir kader Zionis yang culas.
Sebaliknyan kyai Sulchan seorang yang jujur, seluruh hidupnya untuk dibaktikan kepada warga Muhammadiyah khususnya, juga warga ummat Islam umumnya.
Di Pekajangan ada tiga figur yang menjadi buah rindu mengkolaborasikan iman kepada Allah s.w.t.
Disamping kyai Sulchan Michrom, juga tokoh legendaris dua yang lain, K.H. Abdur Rahman dan H. Dimyati.
Hampir-hampir ketiga orang ini dilambangkan sebagai berhala pujaan warga Pekajangan.
Mereka seolah tak sekedar sebagai manusia biasa, tapi sudah tak berjejak dibumi. Seperti tokoh dalam pewayangan, merekalah dewa yang memberikan pelayanan seluruh hidupnya sepanjang hayat.
Segala sepak terjang, dan intrepretasi kehidupan mereka selalu bersandar bagaimana ketika berhala itu berpendapat.
Sangat banyak mempengaruhi jalan hidup setiap individu didesa ini.
Mereka merasa ‘angstpsychose’ bilamana perbuatannya mdari fatwa ketiga kyai besar ini.
Karena sangat mencintai dan memuja ketiga orang ini, nyaris menjadi buku suci disamping kitab suci agung, Alqura’an
Jika ditilik masing-masing figur itu, saling berbeda, baik metode pengajaran Islamnya maupun sifat-sifat yang dimiliki ketiganya.
K.H. Abdur Rahman lumayan keras dalam menjaga moral-attitude dengan vokal lumayan gede dan serak-serak, aksentuasinya berbau menekan. Dalam dunia wayang , ia bisa disebut mirip Kresno yang suka memberi nasehat kepada Pendawa untuh patuh.
H. Dimyati bukanlah kyai atau guru. Ia sebenarnya mirip laku Arjuna, dan memang bersifat Flamboyan. Orang-orang mendewakan Dimyati karena kelakuannya yang platar.
Bahkan royal. Ia menganggap hidup ini tidah usah serius. Biasa saja. Semua akan berakhir. Dimyati yang memang pecandu wayang , diberhalakan karena rasa kagum kepada lelaki yang memang dimsa mudanya gagah dan ganteng. Ia dimasa mudanya jelas sebagai pemuda idola. Termasuk bagi perempuan.
Ia tak pernah berbohong, kalau ia berjanji.
Kejujuran yang polos ini memukau. Sebagian besar hidupnya untuk orang lain, dengan merasa senang dan bangga.
Ia tentu saja berseberangan dengan H. Abdur Rahman, terutama dalam menjalankan syariat Islam. Tapi Dimyati punya kartu trup yang membuat kyai Durahman menjadi keduwung.
Suatu hari kyai Durahman ngomong kepada Dimyati, perihal keinginan membuat masjid khusus untuk Muhammadiyah.
DiPekajangan sudah ada masjid yang bernama ‘Jami’ dilorong 19, dan itu atas prakarsa buyut Ilyas, kakeknya Dimyati sendiri. Tapi masjid Jami’ dipakai dua aliran. Muhammadiyah dan N.U.
Kyai Durahman tak suka. Biar saja jam’ dipakai mereka.
Dan itu waqaf H. Ilyas sesepuh mereka.
Begitu Dimyati mendengar, esoknya ia berusaha membebaskan tanah milik H. Sirad, yang rumahnya di lorong 15. Tepi jalan raya.
-Rad, kowe pingin mlebu suargo ora, mbesuk nek mati?
H. Sirad serta merta menyahut :
-Ya yo, Dim. Pingin. Wong suargo kok.
-Lha, nek kowe pingin temenan, kae tanahmu sing nang sebrang kulon kae, jejeran karo omahe lik H. Raokah, tak jaluk Muhammadiyah oleh ora !
-Kanggo opo Dim.
-Kanggo masjid !!-
Ya, akur Dim, akur.
Dengan gito-gito H. Sirad memanggil H. Maemonah, bininya dan mengutarakan maksud Dimyati. Maemonahpun iklas memberikan.
Segera pembangunan pun dimulai.
Kyai Durahman bagaikan patung, saking kagumnya.
Itulah Dimyati.
Sementara yang berikutnya, sosok sentral ini, K.H. Sulchan perangainya mirip Yudhistira. Tokoh mbarep Pendawa.
Santun, ngasor dan hati-hati dalam dialog.
Tapi jangan dikira dalam mempertahankan aqidah dan mu’amallah yang hak dan bathil. Dia menjelma menjadi harimau yang siap untuk melawan.
Dalam suatu peristiwa, sejumlah eksponen muda Muhammadiyah mementaskan sandiwara yang berbau Islam. Kisah Abdullah, ayahda dan Aminah, ibunda Rasul. Dalam adegan itu Abdullah merangkul Aminah karena dia istrinya.
Dengan spontan Kyai Sulchan melarang keras adegan itu.
Malah cerita itu diubah. Jangan model picisan kayak gitu.
Dengan bujujan apapun, Kyai tua itu tidak bergeser.
Menolak keras. Kita tidak patut menampilakan adegan seperti ‘filmBarat’, haram, kerutuknya tegar.
Akhirnya malah pementasan itu dibatalkan, karena kontroversi jadi merebak. Kalangan tua pun dibelakang kyai Sulchan. Menolak.
Orang-orang muda jadi menyerah. Gagal.
Ituuntuk urusan moral dan akidah.
Tapi kalau soal humor, mengejek dia , kyai karismatik itu sungguh toleran.
Suatu malam, penulis ketemu belaiu dalam acara khitan anak tetangga. Karena banyak luan, penulis membanyol.
Oenulis bilang dengan berepa tamu yang sudah datang.
‘Dikampung kita ini, kalau meninggal semua dan sudah jadi penghuni alam akhirat, yang pertama kali masuk surga adalah H. Sugeng Irfan.
Semua yang mendengar kaget dan tanda tanya timbul.
- Kenapa? Apa lasannya, kok sampeyan tahu.
- H. sugeng diterima semua amalannya. Semua nilai sepuluh.
- Lha ya kenapa?
- Dia menyembah betul kepada Allah, ikhla menjalani Islam sesungguh sungguhnya.
( H. Sugeng Irfan yang kebetulan sudah hadir juga dan duduk sila disudut ikut tercengang karena namanya penulis kait)
- Didalam Al qur’an diperintahkan agar lelaki bisa mengambil istri lebih dari satu, poligami, karena Islam biar diikuti ummat yang makin besar didunia ini. Allah sangat mencintai orang yang membela agam Allah. Surga lah pahalanya.
Jadi sholat, sodaqoh, pergi haji Sugeng itu karena takut pada Allah, semata-mata, tidak takut kepada seseorangpun. Termasuk istrinya. Jadi ibadah Sugeng ini dikerjakan karena taqwa, bukan pamrih.
Semua yang hadir saling cengingisan. Setengah senang setengah mesem.
Seseorang nyeletuk :
- Lantas siapa paling akhir masuk surga warga kampung kita ini?
Penulis tercengung, melirik ketempat sila K. Sulchan.
- Yang paling akhir masuk surga dan surganya klas krotak, adalah kyai Sulchan. Maaf ya kyai. Ini banyolan.
Serentak semua yang hadir ketawa kecut.
- Ah, Yunus ini memang seneng ada-ada saja. Suka ngarang…..
Kok bisa seorang kyai sepuh seperti pak Sulchan masuknya surga klas krotak. Terangkan dong.
Penulis mesem sejenak,
- begini. Pada saatnya pak Sulchan disuruh menghadap Allah, Allah memerintahkan seorang malaikat membacakan rapot kyai haji Sulchan. Bacakan, perintah Allah.
- Inggih gusti, celetuk malaikat dan langsung membacakan iisi rapot
K.H. Sulchan Michrom?
- Inggih, kulo. Sahut pak Sulchan.
- Tempat tinggal Pekajangan, dunia.
- Nginggih.
- Nilai sholat lima,sodaqoh, 3. Dumeh kyai sungkan sodaqoh. Syi’ar sembilan. Taqwa dua.
Sampun gusti. Kata malaikat.
Allah memutuskan :
- Baik, kepada kya Sulchan, ada pertanyaan.
- Gusti pangeran, kuloini sedaya peenguripan kulo serahkan kangge Islam. Kulo milih gesang sederhana. Sodaqoh ilmu hampir saben dinten, kok kulo diparingi nilai merah, dado pundi, Gusti.
- Apakah kamu disertai ikhlas, bukan sebab ri’aannas?
- Mboten, gusti, kulo ikhlas.
- Sungguh?
- Nah, kenapa kamu takut kawin lagi, padahal syi’ar Islam semakin besar kalau ummat islam semakin banyak.
Kamu sering mengajar kitab suci AlQur’an, tapi kamu selalu melewati perintahku bahwa lelaki bisa berpoligami.
Itu artinya kamu karena takut istri, kamu tidak berani ambil istri lagi.
- Saya kasihan sama istri say,a gusti.
- Kasihanmu pada istri melebihi taqwamu kepada Allah? Begitu? Kamu sanjung istrimu adalah segala-galanya, tidak berani kawin tiga sampai empat seperti dilakukan rasulmu?
Kok kamu bilang taqwa, taqwa macem apa itu.
Kamu harus menunggu masuk surga, tidak masuk sekarang.
Dan surganu klas embek……
Terjadilah ger-geran.
Tapi hebatnya, pak Sulchan ikut mesem, ikut geli….
Dia tak tersentuh, hanya itu guyonan model sufi juga.
Dia bilang banyak membaca humornya orang sufi. Seperti Nasrudin, Syech Abdul Kdir Jaelani, Abu nawas….
Memang semasa hayatnya, K. Sulchan adalah hampir-hampir tertutup rapat soal perempuan. Beliaumenikah lagi, setelah istri pertamanya meninggal dan malah beberapa kali menikah, karena mungkin tidak cocok.
Tidak seperti H. Dimyati. Flamboyan ini pernah berekali kali menikah. Dan yang memiliki keturunan tiga empat orang. Ibu Hindun, ibu Waryati, ibu kasmonah. Dan seorang perempuan Cina di Kertasemaya, Cirebon. Disamping ibu H. Marli’ah, kesmuanya meninggal dalam usia tua.
Memang kalau setiap ditanya kenapa pak Dim suka kawin.
Jawabnya polos : Kalau itu bukan perintah Tuhan, saya tak berani.
- Lihat saya keturunan saya di Pekajangan cukup banyak.
Mengalahkan H. Mashuri yang suka juga melakukan poligami.
Kita kita termasuk lelaki pemberani, bukan pengecut.
Alasannya saja sangat mencintai satu istri. Itu bohong…
H. Ahmad Ambari dan H. Khadhiri Mashuri.
Duet pengayuh bahtera Muhammadiyah.
Dua orang ini, masing-masing, secara pribadi adalah sangat dekat dengan hati saya.
H. Ahmad Ambari, beliau pernah menjadi guru di SR. Muhammadiyah yang sekarang ditempati STIKES Muhammadiyah depan masjid Taqwa.
Dan mengajari saya tentang tulis menulis huruf latin di klas satu SR (Sekolah Rakyat, sekarang Sekolah Dasar.)
Dan sejak itu saya bisa menulis huruf, bahkan akhirnya bergelut di bidang tulis menulis, menjadi pengarang, penyair dan novelis.
Pantas sekali orang itu H. Ahmad Ambari aku buatkan patung untuk kekaguman saya, andai saya seorang pemahat.
Tapi tidak sia-sia pak Amt Ambari mengajari saya. Beliau dibalas oleh Allah berlipat ganda, sebagai pengusaha sukses dan dengan sukses mengantarkan anak-anak kelingkar kehidupan yang terhormat.
Saya ini jelek-jelek berdarah biru, wali, setiap orang yang berbaik dengan saya, nasib akan mengankatnya tinggi-tinggi.
Begitu juga peran H. Khadhiri Mashuri, orang inilah yang pertama menarik saya kerja dikoperasi batik Pekajangan. Selama empatpuluh empat haun kerja saya dikoperasi, sampai beliau meninggal lebih dahulu. Kepada baik H. Ahmad Ambari maupun H. Khadhiri Masyhuri, ketika kedua beliau ini sakit keras, saya mengunjunginya, dengan air mata merembes pipi saya mendo’akan, agar ruh keduanyan dijadikan senandung pahala ratna mutu manikam disurga, mereka ahli jannah. Mereka tak pernah kulupakan sepanjang hayat dikandung badan.
Sebagian sajak-sajak saya berasal dari inspirasi kebajikan mereka, dan orang-orang lain yang menaruh hati bersih dengan saya.
Saya ingat, sewaktu saya keluar dari SMA negeri Pekalongan, Tahun 1960. Saya langsung disuruh menghadap didepan H. Khadhiri Mashuri.
- Nus, saya kepingin dibantu kamu.
- Maksud pak Khadhiri?
- Koperasi batik pekajangan tidak hanya butuh pekerja ulet dan mahir dalam perusahaan. Koperasi butuh anak muda yang idealis. Saya kepingin anganm-anganmu dirasakan oleh kita semua.
Kamu disana ndak usah-usah membantu menyusun statidtik. Keuangan dan lain-lain. Kamu jadi semacam juru bicara koperasi. Dengan demikian diruang koperasi ini, tercipta antara karya dan ilham. Kamu masih bebas menulis. Malah mesin ketik dikoperasi bangak. Kamu pakai untuk ngarang. Karena kamu memang pengarang. Tidak keberatan, kan Nus.
Saya pun mengangguk.
Mulai saat itu saya sering ketemu dengan beliau ini. Beliau adalah mula-mula toko-houder, kemudian dirumah administratur, dan dan kemudia diangkat jadi ketua pengurus koperasi batik.
Secara kebetulan pula pah Ahmad Ambari juga jadi salah seorang pengurus disana, dikoperasi batik itu.
Memimpin koperasi dan juga memimpin Muhammadiyah.
Pergaulan kami jadi semakin sering.
H. Khadhiri dan Ahmad Ambari adalah menantu-menantu H. Hambali, keturunan keluarga H. Kurdi.
Keduanya termasuk jenis pemimpin yang moderat, klasik dan sosialistis. Muhammadiyah maupun koperasi menjadi kegiatan dua sis tapi serasi, selaras dan saling membutuhkan.
Symbiose mutualistik.
Tak ada kepilikan yang sulit dipecahkan.
Dan kebetulan juga kondisi ekonomi dalam performance membaik.
Koperasi menjadi andalan pengusaha dan Muhammadiyah menjadi pusat kegiatan sosial yang saling tunjang menunjang.
Dalam kegiatan pengajian tengah bulanan kepimpinan cabang, sering kita bermuawajah, berdebat tapi dalam batas-batas keintiman sebuah keluarga besar.
Waktu itu hadir partai masyumi yang menjadi wadah waraga Muhammadiyah yang senang politik.
Tidak terhitung, juga, aktivitas untuk memajukan arah pendidikan yang lebih baik.
Keduanya adalah duet yang serasi, singkron sebagai pengayuh bidung sebuah masyarakat yang ingin maju.
Mungkin keduanya dilahirkan dengan astrologi bintang yang cerah, moderat dan suka mendengar. H. Khadhiri Masyuri lebih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi sementara H. ahmad Ambari pada kepedulian agama dan ekspresi kemuhammadiyahan.
Tukang bersih-bersih masjid Taqwa danjuga berperan sebagai mu’azin lima waktu bernama Ratman, panggilannya de Ratman.
Saat menjelang luhur, de Ratman buru2 menpersiapkan azan dhuhur.
Dicoba loudspeaker, ternyata ngadat.
Tidak bunyi, ngabek.
Waktu sudah saatnya mengumandangkan azan.
Kesal juga de Ratman. Sampai dia mengumpat : su….
E tenyata suara itu masuk mikropon.
Maka suara umpatan itu terdengar jelas.
Waktu itu saudah hadir jemaah dhuhur termasuk KH Abdur Rahman.
Bukan main kagetnya kyai Durahman dengan suara jelek itu.
Habis azan, de Ratman dipanggil kyai Durahmana.
- Mhan, mhan… kowe mau ngomong opo, ha.?
Kowe ora bener. Wis kowe metu bae. Ora pantes tukang azan mesjid iki dileboni suaro setan. Wis bar sholat, toto sandanganmu, mulih!!
Ketus dan jengkel kyai Durahman.
Disana ada juga H. Khadhiri Masyhuri dan yang lain.
Mendengar juga suara amarah kyai Durahman.
Gusar juga mereka, bagaimana itu bisa terjadi.
Tapi untuk mengeluarkan de Ratman, H. Khadhiri keberetan.
Itu khilap. De Ratman tetap kerja di Masjid Taqwa bukan sebagai muazin. Maka sehabis sholat jama’ah dhuhur, H. Khadhiri memerlukan menemui kyai Durahman.
Sowan kepada seseorang termasuk sesepuh yang paling dihormati.
Terjadilah tukar pikiran mengenai nasib de Ratman.
Mulanya, kyai Durahman menolak keras. Kalau de Ratman masih bekerja dilingkungan masjid Taqwa.
Harus secara drastis dikeluarkan.
Kesal betul kyai sepuh itu.
Tapi H. Khadhiri punya dalih yang ternyata lebih unggul.
Bahwa keburukan seseorang, apalagi terhitung tidak sengaja tiak mengotori bangunan suci seperti masjid dan rumah ibadah lain.
De Ratman ternyata khilap. Lebih jauh, dia bekerja dimasjid itu cukup lama, sejak masjid itu selesai dibangun, dengan upah yang minimal sekali. Apa jadinya kalau ia tidak bekerja lagi, yang jadi tempat bergantung keluarga. Dia berasal dari Comal, yang jauh dari Pekajangan. Dan kyai besar itu jadi kepenak, ketika h. Khadhiri menyodorkan pengganti muazin masjid Taqwa. Yakni Nuh Syamsuri.
Malah makhroj yabg jernihdengan liuk yang indah.
Nuh Syamsuri sudah direkomendasikan kepada Kyai Sukbi Alwi, menantu kyai durahman sendiri.
Akhirnya H. Abdur Rahman lilih juga.
Berkat lobby H. Khadhiri yang pintar.
Namun meskipun de Ratman masih bekerja mengurusi kebersihan masjid dan halaman, H. Dur Rahman tidak sekali mau menyapa atau mengajak ngomong. Beliau nampaknya masih terbawa sikap risau atas ucapan jelek de Ratman.
Siapa yang pantas menjengkeli ucapan tak senonoh di mikropon masjid Allah atau manusia?
Bukankah Allah maha Rahman dan Rakhim dan sangat pemaaf?
Dengan ditopang perusahaan tenun dan batik dirumahnya masing-masing duet kepimpinan Muhamadiyah antara H. Ahmad Ambari dan H. Khadhiri berlangsung cukup lama, dan syi’ar Muhammadiyah makin berkibar.
Tahun enam puluhan cikal bakal rumah sakit didirikan, yang mulanya hanya untuk pertolongan perempuan hamil dan melahirkan.
Bidan-bidan yang bertugas ditempat perumahan khusus bersama keluarga. Rumah bersalin itu memakai tanah waqaf H. Ahmad Ambari.
Dan sekarang te;ah meningkat sebagai rumah sakit umum dengan RSI.
Muhammadiyah memang organisasi Islam yang lebih mengkhususkan kpeada pelayanan umat, dan pelayanan publik umunya.
Organisasi ini tidak terpikat dengan watak perpolitikan tanah air.
Adalah tidak tepat kalau kemudian DR. Amien Rais menyeret Muhammadiyah ke arah politik dengan membangun partai politik (PAN) karena hanya ambisi yang menurut istilah Syafiie Ma’arif syhwat politik Amin Rais terlalu berat.
Lewat Muhammadiyah dia membelokkan cita-cita luhur kyai Dahlan ke lingkaran ambisi-ambisi pribadi.
Ini semua akibat pemimpin itu tidak memiliki rasa percaya diri.
Muhammadiyah jadi tunggangan dan dikurbankan dengan sia-sia.
Apalagi sekarang hadir Din Samsudin, yang takut kalah bersaing rivalnya, Amin Rais, mendirikan PMB.
PMB, partai matahari bangsa, menjadi sapi acuan untuk ambisi Din Samsudinuntuk meraih gelar presiden. Sesungguhnyan itu hanya mimpi buruk seorang megalomaniak saja.
Keistimewaan figur H Ahmad dan H. Khadhiri adalah suka silaturahmi ke bawah. Dimasa mudanya H. Ahmad Ambari suka main badminton dan bergaul dengan teman-teman, jika memutusakan sesuatu masalah, maka yang diuntungkan pihak lemah.
Begitu juga H. Khadhiri, yang penggemar nonton sepak bola ini, sering ikut terlibat dalam kegiatan sepakbola itu ‘in action’.
Dia acapkali ikut melawat bersama klub HW keluar daerah tanpa harus manunjukkan kalau beliau ini pengurus Muuhammadiyah.
Otomatis para pemuda yang ikut bermain merasa gairah.
Tidak jarang ia ikut mengurusi beaya, agar pihak peserta tidak kebanyak mengeluarkan dana.
Satu persoalan pernah terjadi. Orang yang memberikan waqaf tanah kepada Muhammadiyah setelah pemberi waqaf itu meninggal, pihak ahli waris menuntut kembali waqaf itu, padahal sudah diambil alih oleh organisasi.
Kebaanyakan pengurus menolak. Tapi H. Khadhiri mengabulkan.
Karena pihak ahli waris ternyata dalam kemiskinan.
Melwati perdebatan, H. Khadhiri tetap bersifat mengembalikan tanah itu.
Tanah waqaf Muhammadiyah masih cukup banyak. Dan organisasi ini sangat memperhatikan umat yang lemah dan menderita.
Organisasi Muhammadiyah bukan tuan tanah, yang dekil
Banyak kalangan orang tua yang miskin minta dibebaskan beaya pendidikan, dan itu selalu dikabulkanmenjadi tanpa beban beaya.
Kedua orang itu dikenal sebagai memiliki bungkahan jiwa kedermawanan, sehingga cepat populer.
Sampai akhir hayat mereka dikenang sosok-sosok yang baik.
Jumhan Cholil
DiPekajangan terdapat pionir-pionir muda tahun-tahun empat puluhan, saat kondisi Hindia Belanda dan dunia umumnya diluar krisis besar ekonomi.
Pionir itu diantanranya Jumhan Cholil ini.
Dia merintis suatu usaha yang sebenarnya kalau dilanjutkan merupakan jalan bersinar bagi warga Muhammadiyah.
Jumhan pernah bersama kawan-kawannya mencoba melakukan ekspor batik ke Singapura, waktu itu. Dekat perang dunia kedua meledak.
Disaat perekonomian Singapura sendiri setengah lumpuh, karena diblokade oleh Jepang.
Ternyata di kota singa itu batik Pekalongan sudah dikenal, dan disukai. Terutama peranakan melayu dan juga sebagian Cina.
Batik tulis yang sangat halus, milik Oey Shu Tjun, Kedungwuni sudah kondang di negeri pulau yang dulu dibangun oleh raja Singasari bernama Tumapel itu. Barangkali nama Singapura kemudian, adalah untuk mengingat kerajaan Singasari yang dimasa Kertanegara pernah sampai ekspansi kesana.
Jumhan punya kecerdasan diatas rata-rata. Putra H. Cholil yang banyak menimba ilmu dari autodikdak itu cepat mengenal eksport dan perdagangan antar pulau.
Malah ditahun limapuluhan akhir Jumhan membangun pabrik kaos secara perseorangan. Sementara koperasi batik Pekajangan sendiri telah lebih dulu membangun pabrik kaos (yang sekarang jadi kampus STIKES)
Guru spiritual H. Jumhan ada Mukri. H. Jumhan dekat dengan Mukri untuk menimba lebih jauh perspektif agama untuk kehidupan. H. Jumhan sendiri tamatan Mu’alimin Yogya.
Saking dekatnya dengan Mukri yang ditambah sebutan ADI, singkatan dari ‘asal Djatibarang Indramayu) itu, jodohpun dimintakan kepada Mukri selaku kyai. Diminta memilih satu diantara tiga calon. Tiga perawan cantik yang waktu itu menjadi nominasi Jumhan.
Masing-masing Nis’oni (yang kemudian melahirkan Romzi dan adik-adiknya) Anikhah Harun dan seorang lagi Zuhriyah, anak putri H. Syakur.
Mukripun melakukan istikharoh, Mukri menunjuk kepada Chairiyah sebagai pilihan. Jumhan kontan cocok, dan tidak lama mereka menikah.
Kedekatan H. Jumhan dan Mukri Adi ini sampai dengan keinginan agar besuk kalau meninggal makamnya dijejerkan dengan makam kyai Mukri.
Dan itu terbukti, malah makam H. Jumhan dan Hj. Chairiyah, istrinya, yang menyusul meninggal, jadi dapit oleh Mukri Adi dan Siti Aenah istri Mukri, ditengahnya makam Jumhan dan Hj. Chairiyah itu.
Suatu contoh persahabatan dan persaudaraan yang tulus.
Seni dan budaya di Pekajangan
Jauh sebelum perang-kemerdekaan, diPekajangan sering di-ampiri rombongan ronggeng dan sintren.
Ronggeng dengan primadona Jibleg, dari Cirebon sangat misuwur.
Jibleg yang merangkap jadi perempuan penghibur dan ngedani para hidung belang. Tidak sedikit orang-orang Pekajangan jatuh tersungkur menjilati tubuh Jibleg dan melupakan istri dan anak-anaknya.
Habis perang kemerdekaan muncul orkes-sandiwara pimpinan Carbi. Dengan nama ‘Garuda Putih’.
Sandiwara model model berpakaian modern dan campur tradisi, sangat populer, sering ditanggap oleh orang-orang untuk acara khitan atau pengantenan sampai pelosok jauh, diluar desa.
Carbi dalam memimpin yang mirip tonil ini sangat disiplin.
Dalam acara pembukaan ada aturan yang baku yang harus dilaksanakan. Wajib ditaati.
Diantaranya Semua pemain sandiwara harus melingkari sang pimpinan
Carbi itu yang duduk dikursi bak seorang raja.
Dan ada satu lagu dengan syair : misalnya, (berdendang dulu) kemudian diakhiri dengan kata-kata :…sandiwara ini pimpinan bapak Carbi!!
Telunjuk jemarinya harus menuding kearah Carbi.
Kalau lupa tidak menuding, bayarannya dipotong……
Nuh Syamsuri kemudian mendirikan orkes ‘cimpring’.
Orkes model ke Arab-araban ini juga menarik.
Dengan peralatan rebanan dan biola yang dimainkan oleh Nuh Saymsuru sambil merangkap sebagai vokalis.
Ketika Nuh syamsuri diangkat sebagai mu’azin masjdi Taqwa, menggantikan de Ratman, lama-lama ‘cimpring’ itu merosot dan bubar klampreng.
Vokal Nuh memang prima, vibrasinya segar dan melodi nya lantun, merdu.
Semua orang mengagumi azan Nuh Syamsuri.
Kecuali Ali yang berani mengkritik.
Disebuah warungnya Sean-Conil, Alijaran bilang sama Nuh yng kebetulan sama-sama diwarung, sarapan pagi.
Bilang Alijaran : Nuh, suaramu yo apik, mung ucapan Allahu Akbar kok krungune Allahu gedebak…..
Spontan Nuh membalas : - Wong kupingmu kuping jaran…..!
Alijaran ini mantan mu’azin masjid jamik. Tapi diapkirkan oleh kyai Sukbi Alwi. Gara-garanya masih jam sepuluh pagi mendadak azan lewat mirkropon di masjid jamik.
Orang-orang yang mendengarkan jadi penasaran. Ada apa ini Alijaran. Kok anek dan zemek…
Habis azan rampung, dipanggil kyai Sukbi.
Li, kowe kok azan wayah esuk ini ono opo ngelindur opo edan….?
Sahut Alijaran : Lho niki rak ajaran kyai piyambak. Terose nek gadah lare langsung diazani…….
- o dasar budeg, sing tak maksudke, cukup lirih ditempelke kupinge bayimu, bleg….
Wis kowe orang usah azan disik. Tak sekores…..
Tidak lama di Pekajangan muncul orkes-melayau (sekarang dangdut) pimpinan Usma Jaya dan Agustoyo, dua kakak beradik.
Orkes melayu itu sempa jadikan demam bagi penggemarnya.
Lebih-lebih dengan hadirnya biduan Faridah, asal kota Semarang.
Usman Jaya adalah gurunya orkes diPekalongan, dan fanatik hanya mau hidup dengan musik. Niscaya itu terbukti, ia meninggal dengan memegang klarinet pujaannya.
Namun yang paling fenomenal di Pekajangan haeirnya radio.
Dengan eksponen mudan dan berwawasan tinggi, Farid Akhwan, Romzi, dan Basuni, memproklamasikan studio radio dengan nama SUHADA (suara mahasiswa dan pemuda)
Didukung pula oleh Rokhin Syakur yang mempolerkan nama panggilan dengan ‘Legos’, kemudian Harsono Bakir dan yang lain.
DiPekajangan sehabis peristiwa pemberontakan PKI, terjadi kesenjangan suasana yang tak menentu.
Adanya penangkapan-penangkapan yang dicurigai sebagai indikasi PKI meraja lela.
Termasuk yang ditangkap H. Mkhali, oleh kalangan saudaranya sendiri.
Orang-orang pengecut itu memfitnah atas lelaki tua itu sebagai penasehat PKI. Dua tahun ditahan dan tanpa bukti apapun.
Hanya berdasar fitnah semata-mata. Kalau kita menyelidik, figur seperti H. Makhali ini memang unik. Dia seorang bergaya liberal, dan tidak mau tunduk kepada pikiran orang. Ia sellalu condong berfikir netral.
Ia tidak cocok dengan Muhammadiyah bukan kerna benci, tapi ajaran itu akhirnya menjadi fanatik, dan mau benar sendiri.
Orang yang kebetulan bersebrangan dianggap sudah murtad dan kafir.
H. Makhali tetap konsisten. Akhirnya ia difitnah PKI.
Setiap orang Pekajangan dan sekitarnya selalu menikmati radio Suhada.
Malah kedudukan RRi, jauh dibawa kepopuleran Suhada.
Bakat anak anak muda pekajangan sungguh mengagumkan.
Acara dikemas bersifat urakan tapi denga pembawaan vokal yang kenes, akrab menjadi radio itu sahabat semua orang.
Tidak cukup radio saja , eksponen muda itu bergerak.
Didirikan band dengan nama ‘Silumans’ dengan personil Farid Akhwan, Legos (Rokrin Syakur) Hawari dan Siswanto Harun,Sugeng AA, Nurhadi , begitu kompak dan mempesona. Mestinya mereka bergerak jauh keatas ke orbit permusikan nasional.
Tapi cita-cita mereka tak mau segede itu, cukup untuk menghibur kalangan muda di Pekalonngan.
Inilah kesederhanaan jiwa mereka.
Ini sebenarnya merupakan bentuk friction dari sikap prohibisionis orang tua, akibat juga kekerdilan dalam pengajaran agama.
Bakat itu menjadi tersandung karena jiwa terlanjur minderwardig.
Sayang. Dan pertunjukan atau show sebatas dilingkaran Pekajangan meskipun mutunya berstandar nasional. Malah Superiory-touch.
Kehadiran ‘Silumans’ pernah menarik perhatian masyarakat.
Ketika penulis ke Bandung waktu itu, dan mampir ke majalah ‘Aktuil’ untuk mengurus naskah yang masuk, penulis sempat bincang-bincang dengan Ben’s Leo, reporter ‘aktuil’ dibidang musik, dia sangat interesan bahwa didesa sudah ada band yang berkolaborasi dengan gaya roks.
Seukuran Koes Bersaudara atau yang lain.
Itu sebuah fenomen. Sayang, waktu ia penulis ajak ke Pekajangan dia banyak kesibukan.
Buah kenekadan itu, membenamkan pikiran lapuk para ulama’ kampung, dibidang politik pun membuahkan hasil.
Pada gilirannya Musa Dimayi bisa diangkat jadi anggauta DPR pusat.
Sebelumnya ia bercokol dikantor kelurahan sebagai kepala desa.
Ia tersaruk-saruk dan tak ada jalan lebih mendaki.
Di Pekajangan sampai saat itu belum ada tokoh organisasi yang mencuat kepusat (Jakarta). Cuap-cuap model Ibrahim Kadir memang banyak.
Ibrahim Kadir yang memerankan ‘autokrasi’ kemeng yang kadang tanpa alasan kuat membuang eksponen yang berbakat hanya krena faktor kebencian pribadi dimana dia punya watak seperti itu.
Musa Dimyati menjebol, jadilah ia anggauta dibadan terhormat, di lembaga tinggi negara dari organisasi Golkar.
Sehabis periode Musa, muncul Farid Akhwan, menyusul jadi anggauta DPR pusat setelah mendaki darianggauta DPRD kabupaten Pekangan, sebelumnya. Kalau kedua orang itu (Musa dan Farid) mengikuti pola berfikir Kyai Durahman atau kyai Sulchan Michrom masih terantuk-antuk sebagai fosil kalangan Muhammadiyah atau partai politik sejenis Masyumi.
Mana aada tokoh Masyumi dari kalangan kita. Kita dibatasi hanya sebagai pengagum.
Di Muhammadiyah sampai sekarang tak ada pintu kejurusan itu.
Orang-orang Amin Rais dan Din Syamsudin yang akan selalu menangkap kesempatan itu. Walaupun dibawah sudah berbaris orang berbakat dan berkemampuan sederjata.
Orang Pekajangan dari dulu, sebatas sebagai penonton dan bertepuk tangan.
Mengagumi orang lain jadi pemimpin. Mereka diundang diPekajangan dan ‘menggurui’ seenak wudelnya.
Kehadiran radio SUHADA dan musik model ‘Silumans’ sebagai embrio pendobrakan total, hendaknya jangan sampai terputus.
Estsfet itu sudah meraih bendera bergilir.
Sebenarnya tantangan sekrang jauh makinm komplke.
Seperti radio SUHADA sendiri sudah menjelma PT dan itupun harus bersaing keras. Ekspresi Muhammadiyah sedemikian luntur, hampir tanpa bekas. Idealisme sudah tak bercokol, semuanya harus profesional.
Apalagi kalau nanti mengejar perangkat TV dan environment yang menuntut ke tangga itu. Dan Pekajangan lebih berdegub, menjadi sarana metropolitan, seratus tahun laigi.
Bisakah Muhammadiyah tetap exist, melihat anak-anak muda sekarang sudah mulai berani meninggalkan syariat dan aqidah Islam.
Soliloverdi
Jika kita bangun subuh dan mendengar suara azan berkumandang. Bukan suara de Ratman, bukan pula Nuh Syamsyuri.
Keduanya sudah lama dijempu liang lahat sebagai penghuni makam.
Suara muazin yang meliuk-liuk dan melodi seperti percikan air dari mancuran, adalah orang-orang yang berasal dari generasi kini. Bukan suara azan itu yang mendesak desak hati.
Azan sekarang telah menjelma sejumput nostalgia.
Orang bukan tersedar dengan mendengan azan pengingat waktu sholat, buru-buru bersiap ke masjid Taqwa atau Jamik dikampung 19, Lihat!
Dibanding berapa jumlah penduduk desa ini, puluhan ribu dengan yang hadir di masjid, atau dimusholla-mushollah di kampung-kampung.
Tak ada lima persen. Hanya ratusan orang, itupun lebih banyak orang-orang manua dibanding anak-anak usia muda.
Orang-orang yang sudah mengingat bahwa maut akan segera menerpanya, menjambaknya dari ubun-ubun. Takut dan ngeri, lalu ikut jemaah.
Pekajangan yang ditahun lima puluhan dengan ritual lima waktu, bagaimana dari para lelaki dan perempuan bergerombol mendatangi masjid dan musholla dan itu pernah menyentuhkan ilham bagi sutradara film, ketika menyaksikan disebuah jalan raya Pekajangan, asyik dan khusyuk orang orang berangkat ke masjid dan kemudian pulang bersama pula. Ciri khas ini sudah terkelupas, makin surut.
Kita sudah melupakan Islam, dengan demikian kita juga mulai melupakan Muhammadiyah dan Nu?
Mungkin ya mungkin juga tidak.
Perubahan linear kehidupan yang evolusif itu jelas memang akan selamanya berlangsung. Seperti evolusi manusia dari picanthropus erectus dan menjadi homosapein, kemudian makhluk menuju peradapan dengan pekermbangan ilmu yang didapat, dimana Tuhan kemudian dijumpai dalam diri nabi-nabi.
Pekajangan, sebuah titik gurem dilembar peta karjagad tak bisa melepaskan juga dari proses alamiah itu.
Lantas kitapun bertanya, bagaimana dijaman akhir nanti proporsi manusia Pekajangan? Bagaimana dengan alirannya, Muhammadiyah dan NU? Bagaimana semua itumembentuk lukisan mural atau real coraknya? Apakah Muhammadiyah masih tetap mampu dan exist memberi jawaban?
Anak-anak kita tak pernah tahu apa rumus tentang sikap Muhammadiyah kecuali ‘jare-jare’ alias kata simbah dan buyut dulu. Yang empunya dongeng.
Lima atau enam ribu tahun lagi, siapa bisa menyusun secara hipotetik penghuni planet Pekajanganm, kalau dia masih mengorbit dijalan bintang garis edar langit?
Kita teringat Al-Mas’udi, penulis yang dikagumi oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya ‘Muruj adh dhahad (Padang rumput emas)
Jangan berhentilah berfikir dan mencari ilmu, jangan percaya kesimpulan seseorang, bahwa itu benar sndiri……
Musafir Maroko tempo dulu, Ibn Battuta tidak sempat mampir ke Jawa dan sampai di Pekajangan saat itu (th. M.1325), dan itu khayal kalau ada cerita semacam itu, tapi tokh Pekajangan tetap dikenal sampai Maroko. Kain batik tahun 1950 han pernah dieksport sampai Casablancha ibunegeri Maroko, negeri dipantai paling barat Afrika itu. Dalam buku ensiklopedi batik, diperpustakaan Leiden (Belanda) ditemukan gambar tentang batik Pekajangan dipakai oleh orang gypsi. Di Maroko. Benar juga kata Ibnu Khaldun dalam bukunya ketika dia mengatakan : Kita harus berani kembali pada sumber yang ada pada diri kita sendiri. Dengan fikiran jernih, jiwa terang, dan lurus, haruslah dapat membedakan antara mana yang mungkin dan mana yang tidak mungkin……
Jadi kita tidak usah meniru kehidupan di Mekah, misalnya, kalau waktu sholat tiba perlu harus diuber polisi-agama (keganjilan diabad modern, dan begitu menggelikan) dengan teriakan : ‘sholli, sholli! Maka pintu pintu rumah dan toko digebrak tutup rapat. Tapi di dalam rumah atau toko orang orang tetap bertelekan tiduran, main catur dan merokok. Tidak kemasjid dan ikut jamaah.
Ingatlah, kita bukan Arab. Kita mengikut Islam saja. Bukan peradaban Arab. Kita tidak membutuhkan polisi-agama, atau bedor-bedor yang sok Islami, menyeru untuk ikut dia ke masjid.
Ijtihad yang arti sebenarnya adalah tafsiran tentang Islam yang berbeda-beda jangan menjadikan Pekajangan seperti kampung Arab. Dengan baju dekilpun, kaki berdaki ikut lari berjema’ah, karena pahala buka 27 derajat, tapi sejuta derata taruhlah.
Muhammadiyah kalau boleh disenyawakan merupakan aliran yang sosiologis, jauh dari sifat ekstrim, apalagi anarkis.
Mungkin kalau saat itu, nabi Muhammad sudah mengenal pemikiran akademis, Islam akan lebih banyak menjurus kepada yang menjadi sandaran ulama-ulama betapa sangat vitalnya membangun citra sosial yang laras.
Sesepuh Pekajangan ketika menyerap Muhammadiyah masih mirip mengunyah lemper (semar mendem) yang saking enaknya, memuji-muji sambil menelanleg-leg. Setelah kekenyangan, dia bingung, benarkah itu makanan sehari hari kita, bukan lagi nasi?
Ahmad Dahlan juga kyai archaic, waktu dinegeri Arab ia terkagum kagum bagaimana menyaksikan sepak terjang kaun Wahabi, bagaimana Raja Bin Saud menirnakan mistik-misti disekitar masjid Baitul Haram. Padahal mistik yang diajarkan Al Ghazali, misalnya adalah buah kebudayaan, bukan dasar ajara, apalagi bila dibalik ajaran Islam yang mendasarkan sunnah Nabi. Padahal pula sunnat sendiri sekarang adalah sudah termasuk ortodoks.
Pekajangan bukanlah citra Islam Arabesque. Justru citra Islam Jawa. Sosiologi selalu mengajarkan pentingnya toleransi kearah semua sudut.
Nama dan Riwayat Hidup Penulis :
Nama : Yunus Mukri Adi
Lahir : 26 Januari 1941
Bintang : Aquarius
Pendidikan : SMA Negeri Pekalongan tahun 1959 tidak sampai selesai.
Menulis Majalah : Panji Masyarakat, Pedoman Masyarakat, Mimbar Indonesia, Aktuil, (Bandung), Sarinah, Femina, Amanah Suara MUhammadiyah, mentari Roman (Jakarta tahun 1958)
Buku-buku : Kumpulan cerpen Rumah Tangga diluar kita (Balai pustaka), Radio Hilversum, cerpen. Harian Malaysia.
Surat Kabar : Kompas, Sinar Harapan, Berita Yudha, Berita Buana, Surya, Republik Abadi (1957), Duta Masyarakat (1957/8) Riau Pos, Surabaya Pos, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka (Semarang).
Nama : Yunus Mukri Adi
Lahir : 26 Januari 1941
Bintang : Aquarius
Pendidikan : SMA Negeri Pekalongan tahun 1959 tidak sampai selesai.
Menulis Majalah : Panji Masyarakat, Pedoman Masyarakat, Mimbar Indonesia, Aktuil, (Bandung), Sarinah, Femina, Amanah Suara MUhammadiyah, mentari Roman (Jakarta tahun 1958)
Buku-buku : Kumpulan cerpen Rumah Tangga diluar kita (Balai pustaka), Radio Hilversum, cerpen. Harian Malaysia.
Surat Kabar : Kompas, Sinar Harapan, Berita Yudha, Berita Buana, Surya, Republik Abadi (1957), Duta Masyarakat (1957/8) Riau Pos, Surabaya Pos, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka (Semarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar